Dia aku
(chapter 1)
“Ariniiiiii”
Ketika
nama itu berkumandang masuk kesela-sela telinga ku, aku akan menoleh. Jelas,
itu adalah nama panggilanku.
Perkenalkan,
aku Arini Aquilaria Prakoso, anak kedua dari dua bersaudara hasil persilangan
antara Ayah gagah yang bernama Bagas Wana Prakoso dan bunda cantik yang bernama
Ayunda Fatimah. Kedua orang tuaku adalah orang pribumi asli, kelahiran Bandung,
di Negeri Indonesia tentunya. Ayah ku adalah seorang Pegawai Negri Sipil (PNS),
pegawai yang sangat tekun, sejak ayah lulus dari bangku kuliah D3 hingga S2nya
ia sudah mendedikasikan hidupnya brgabung di Forest Ranger, hingga ayah lulus
tes PNS dan sekarang ayah mendapat tanggung jawab besar terhadap pekerjaannya,
dimana ayah sekarang menjadi Kepala Dinas Perum Perhutani KPH (kawasan pemangku
hutan) Bandung Utara, itu yang kerjaannya ngurusin hutan-hutan. Ayah memiliki
seorang bidadari cantik, pendaping hidupnya, aku akan memperkenalkan siapa
orang itu.
Ia
adalah bunda ku, seoarang perempuan cantik dan ayu, sesuai namanya Ayunda Fatimah,
bunda dulunya adalah teman sekampus ayah, mereka bertemu dan menjalin kasih
sejak dibangku kuliah, waktu di UGM, Fakultas Kehutanan, angkatan 84. Bunda
hanya seorang ibu rumah tangga, ia mendedikasikan hidupnya untuk keluarga
kecilnya, merelakan gelar D3nya untuk aku, Mas ayaz dan ayah, karena bunda
selalu berkata “bunda adalah madrasah dan
rumah bagi kalian” Bunda adalah wanita hebat, ia memilih tak mengejar
cita-citanya setelah melahirkan mas Ayaz. Ia adalah perempuan yang selalu ada
untuk kami semua. Bunda tak serta merta berdiam diri di rumah kalau kami semua
sibuk dengan pekerjaan dan sekolah, bunda punya hobi yaitu melukis, walaupun
bunda melepaskan cita-citanya sebagai pelukis, ayah jelas tak mau membiarkan
kesepian melanda bunda, ia membelikan bunda satu set alat lukis yang diletakkan
di taman belakang, tempat dimana bunda menghabiskan waktunya selama kami semua
tak ada dirumah.
Dan
anggota keluarga ku yang terakhir adalah mas Ayaz, itu nama panggilan sayang
kami, nama asli mas Ayaz adalah Alstonia Zuwardi Prakoso, dan dipanggil Ayaz,
entah kenapa, akupun kurang mengerti kenapa, mungkin hanya Ayah dan Bunda yang
mengerti alasannya kenapa. Mas Ayaz adalah mahasiswa UB (Universitas Brawijaya)
Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Hubungan Internasional,
semester 6, angkatan 2004. Mas Ayaz dengan ku hanya berbeda hampir 3 tahun,
kebanyakan orang mengatakan wajah kami mirip, kayak istilah bagai pinang dibelah dua, entah dari
mana miripnya, aku rasa tidak, karena perangai Mas Ayaz jauh berbeda denganku,
ia sama seperti anak laki-laki lainnya, kamarnya selalu berantakan. Tapi kalau
aku jalan bareng Mas Ayaz, gak malu lah, orangnya ganteng, banyak dikecengin
cewek-cewek kalau suka jalan di mall.
Kalau kalian bisa membayangkan, Mas Ayaz memiliki tinggi badan 181cm, dengan
berat badan 60Kg, kulitnya putih, rambutnya sekarang rada gondrong kayak Adipati
Dolken, hidungnya mancung, matanya sipit, bibirnya rada pink tipis, jelas, ia
anti merokok, ah kalau zaman sekarang, Mas Ayaz bisa dikatakan kayak artis
korea. Kadang membuat ku bangga memiliki kaka seperti mas Ayaz.
Kalian
ingin tahu aku? hmm, aku akan sedikit menceritakan siapa aku. aku lahir pada
tahun 1989, tepatnya tanggal 8 Februari, benar sekali, bertepatan dengan hari
raya imlek. Terkadang banyak yang mengatai ku dengan sebutan “Arini anak china” itu karena mata ku
yang sipit, persis kayak orang china.
Oh
iya, aku sekarang tidak lagi tinggal di Bandung, seminggu yang lalu, kami
sekeluarga pindah ke Malang, karena ayah pindah tugas, dari Bandung ke kantor Perhutani
KPH Malang tepatnya di kota Batu, Kabupaten Pasuruan. Dengan pertimbangan yang
cukup matang, aku merelakan rencana besar ku bersama Tia dan Andini, teman satu
sekolah ku sejak SMP hingga SMA, kami mempunyai rencana, yaitu mausk
Universitas Padjajaran (UNPAD), universitas bergengsi di kota Bandung, banyak
siswa-siswi d isekolah ku yang berlomba masuk ke UNPAD, aku memilih Fakultas
Psikologi, Tia memilih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, jurusan Hubungan
internasional, sedangkan Andini memilih Fakultas Kedokteran. Namun, rencana
yang kami susun bertiga kemaren-kemaren terpaksa aku batalkan, karena aku dan
keluarga harus pindah ke Malang, ditambah suatu kebetulan yang luar biasa, aku mendapatkan
beasiswa penuh, untuk kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Hubungan Internasional, adik tingkat mas Ayaz.
Aku
adalah anak perempuan yang sedang beranjak menjadi mahasiswi kampus terkenal
nan bergengsi di Indonesia, khususnya Malang. Fostur tubuh ku bisa kalian
bayangkan saja ya, dengan tinggi 169cm, berat badan 50kg, kulit ku putih,
hidungku mancung, mataku sipit, bibir ku pink mungil, daguku lancip dengan
lesung pipi disebelah kanan, rambutku hitam pekat, panjang melebihi bahu, aku suka
menguncirnya, karena terurai terasa panas. Nah, bisa kalian bayangkan? itulah
aku.
***
1. Si Kaca Mata Hitam
“Ariniiiii”
Aku
yang sejak tadi sibuk dengan smartphone
hitam bermerek Blackberry itu, segera
terbangun, menoleh kesumber suara, seorang laki-laki berdiri tak jauh dari
posisi ku, jarak kami tak cukup dekat, menyisakan 2 meter. Aku menatapnya
bingung, tak kenal pikirku.
“iya?”
“adiknya
Ayaz?”
Aku
mengangguk. Ah mungkin teman mas.
“tadi
disuruh Ayaz jemput kamu?”
“jemput?”
ia mengangguk “ke?”
“ke
sekre, soalnya ponsel Ayaz mati, dia lupa sama no hape kamu”
“aah,
kebiasaan” cibir ku kesal sambil menyimpan smarthphone
ke kantong celana jeans hitam ku. “sekrenya dimana bang?”
“deket
ko”
Ingat,
ia menyebutkan kata “dekat”, seandainya kalian ikut jalan kaki bersama ku,
kalian akan tahu arti dari kata “dekat” yang abang satu ini sebutkan. Pegal
rasanya kaki ku saat menyelusuri jalan menuju sekretariat Pers kampus,
lokasinya lumayan jauh, lumayan membuat keringat ngocor. Aku dan abang itu
berjalan tak beriringan, ia berjalan didepanku dan aku dibelakangnya. Entah
kenapa mata ku focus ke fostur tubuh abang satu ini, gilaa, atletis, pundaknya kekar, badannya tegap, dan jangan ditanya
tingginya, 180cm ku taksir, soal wajah, hemmm.. aku menyukai senyumnya.
“Rin”
ia berhenti, akupun berhenti.
“heh?”
dengan nada setengah terputus, lelah bang.
“capek?”
Aku
menggeleng mencoba kuat, tapi matanya menatapi wajahku, segera ku seka keringat
yang mengalir. “cuman keringatan, harinya panas, hee”
“masih
kuat kan?” aku mengangguk. “udah dekat, itu sekrenya” ia menunjuk sebuah bangunan
yang didepannya ada papan yang bertuliskan “Sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa
Fisip”, dan ku baca ada salah satu nama “Sekretariat Pers Merah Putih” didekat
papan nama itu.
“ayo
bang”
Kami
kembali berjalan. Tak masalah, hanya 50 meter lagi kami untuk sampai kedalam
sekretariat pers.
-
“Yaz,
adek lo” teriak seseorang ketika melihat kami muncul dari balik pintu.
Aku
kikuk. Abang itu lebih dulu masuk kedalam, ia mempersilahkan aku masuk dan
duduk disofa ruang tamu sekre. Aku akan menilai ruangan tamu sekre pers ini,
luar biasa, retro banget dan satu hal yang aku kagum, sangat bersih dan nyaman.
“minum?”
ia menawari ku sebotol aqua dingin.
Aku
menyambut. “makasih” segera ku santap air mineral, aku sangat haus, perjalanan
yang lumayan jauh menuju sekre ini, sangat membuat rasa haus ku meningkat.
Tak
lama mas Ayaz datang, dan duduk disampingku. “mas lupa sama no hape kamu”
“kapan
coba ingatnya”
“maaf
ya”
“hmmm”
sahutku dengan nada males.
Salah
satu hal yang sulit bagi mas Ayaz adalah mengingat no ponsel ku. Padahal jelas
aku tak pernah mengubah no ponsel ku sejak pertama kali aku menggunakan ponsel,
yaitu SMP kelas 3.
“untung
ada Lyan” ia tersenyum melihat aku menatapnya. “kebetulan juga dia mau kedepan,
sekalian deh nitip kamu” jelas Ayaz tak sepenuhnya aku dengar.
“oh
bang Lyan namanya” ucap ku pelan setengah berbisik.
“hah?
Dari tadi belum kenalan?” mas Ayaz menatap ku. Aku mengangguk.
“kan
lo cuman nyuruh gua jemput adek lo, gak nyuruh kenalan kan” sahut Lyan
Aku
tersenyum kecil sembari menatap wajah Ayaz. “bener kan”
“aaah,
bener juga sih” sahut mas Ayaz mengiyakan. “sekalian menyelam minum aer kek”
tambahnya.
Abang
itu hanya tersenyum manisnya. Aku suka.
“tujuh belas agustus, tahun empat lima,
itulah hari kemerdekaan kita, hari merdekaa, nusa dan bangsa, hari lahirnya
bangsa Indonesiaaa, merdeeeeekaaaaaa” seseorang dengan suara laki-lakinya
yang lantang, sedang menyanyikan lagu kemerdekaan Indonesia, dinyanyikannya
dengan nada tinggi dan volume keras, mungkin dengan suaranya itu dapat
membangunkan seisi gedung sekre ini.
“orang
gelo akhirnya datang” ucap seorang
perempuan yang sejak tadi berdiri didepan papan pengumuman sekre. Ia tatap
pintu masuk, menunggu seseorang muncul.
“belum
tujuh belasan woooooooy!!” teriak seseorang dari ruangan dalam.
Aku
kaget, suara gelak tawa mengisi ruangan sekre. Tak lama si pedendang lagu yang
tak nampak wajahnya, akhirnya muncul dari balik pintu, semua memandangnya,
akupun begitu.
Ia
mengenakan kaca mata bulat hitam dengan frame warna emas, baju kaos oblong
berwarna hitam, celana jeans hitam lusuh yang dilututnya terdapat
robekkan-robekkan kecil yang entah disengaja atau tidak, dan dilengkapi tas
selempang hitam yang penuh acecoris gantungan dari tali prusik.
“Assalammu’alaikum
pa jiii.. bu jiiii” sapanya sembari melepas kacamata, diletakkannya diatas
kepala dan wajahnya kini nampak jelas terlihat.
“gak
ada uang receh Nal” sahut mas Ayaz.
Wajahnya
berubah kecewa. “ceban deh”
“anjiiir”
sahut mas Ayaz sambil melempar kemejanya kewajah anak itu.
Ia
hanya tertawa sambil menjauhkan kemeja mas Ayaz dari wajahnya, ia lempar lagi
ke mas Ayaz. “eh” ia diam sesaat, matanya mengarahku, sebentar mata kami
bertemu, lalu ku alihkan. “Ayaz versi cewe”
“sembarangan”
sahut Ayaz.
Ia
duduk disamping Lyan, matanya masih mengarah kearah ku, seolah tak mau pergi.
Dan sumpah, aku bingung saat itu.
“junior
kita kan?”
Aku
mengangguk.
“tau
siapa aku?”
Aku
menggeleng.
“gaess, ada yang sok ngartis nih” sindir
anak perempuan tadi sambil berlalu masuk kedalam ruang tengah seolah memberikan
informasi penting kedalam ruangan.
“aku
yakin sebentar lagi kamu akan tau”
Dan
tak lama kemudian.
“Enaaal,
artikelnya udah belum” seorang perempuan dengan kacamata tebal minus bulat,
ditambah wajah betek, keluar dari balik ruangan tengah, ia mendekati Enal. “lama
betul” gerutunya.
Lyan,
mas Ayaz dan anak laki-laki itu tertawa, akupun ikutan tertawa. Seperti peramal
bisikku.
Ia
menatapkku. “tahu kan?”
Aku
mengangguk. “iya”
“mungkin
kita akan sering bertemu” ia tersenyum sambil memainkan keninngnya, lalu
berlalu masuk kedalam ruang utama bersama anak perempuan tadi.
Aku
tak memberi respon apa-apa tentang tingkah laki-laki yang ku ketahui namanya
adalah Enal.
**
“Rin,
gak ikut UKM?”
Dia
adalah Hanun, teman perempuan pertama yang ku ajak berkenalaan saat pertama
OSpek. Hanya berawal dari kata “hai” dengan suasana kikuk saat itu, dan kini
berubah menjadi ratusan kalimat atau malah jutaan cerita yang kami lontarkan
saat berdua.
“bingung,
padahal ikut UKM adalah syarat wajib buat beasiswa gua” aku mengepak buku
kedalam tas.
“kenapa
gak ikut ukm abang lo”
“hah?
PMP?” Hanun mengangguk. Kami berdua mulai melangkah keluar kelas. “gak ah, malu
sama teman-teman mas”
“padahal
kan asik, ada abang, dijagain pasti”
“gak
ah gak ah.. yang lain aja”
“apaan?”
Aku
melirik kearah aula yang terbuka. Hanun mengikuti arah matakku.
“teater
Rin?”
“mau”
“daftar
aja”
“entar
deh”
Kami
pun berlalu pergi menuju kantin kampus yang luasnya cukup menampung sepertiga
mahasiswa Fisip UB. Makanan yang paling hits disini adalah baksonya mang
Dadang, satu-satunya bakso yang dijual di kantin Fisip UB, makanya paling
laris, ditambah senyum menawan mang Dadang kalo lagi meladeni pelanggan,
beeeh.. garasinya kebuka, eh ampun
maaang, hehe..
“majalah
PMPnya dek?” seorang mahasiswa menawarkan ke Hanun.
Hanun
mengangguk. “boleh bang, satu” ia mengeluarkan uang lima ribuan.
“makasih”
Transaksi
jual beli terjadi begitu saja. Seperti biasa, setiap hari senin dalam dua
minggu sekalii, PMP menerbitkan bulletin harian dengan 8 halaman, isinya kadang
membuat aku kagum saat membaca. Mereka yang tergabung di PMP bukan orang
sembarangan, mereka kritis dan punya wawasan luas, sangat cepat tanggap akan
suatu kejadian, sangat peka terhadap lingkungan sekitar.
“apa
kabar analog?”
Aku
langsung tertarik saat Hanun membacakan thema bulletin PMP kali ini. Kalian
yang lahir sebelum tahun 2000 pasti mengenal apa itu analog. Sebelum kita
mengenal digithal, analog adalah sahabat setia anak-anak remaja masa itu.
“wah,
generasi 90-an nih”
Hanun
mengangguk. “kayaknya asik” ia membaca halaman depan. “ih sumpah, punya abang
gue mereknya motorola” ia menunjuk sebuah gambar animasi pager.
“aaaah,
mini tendoo”
“ini-ini..
sailermoon, aaa sensaiya”
“aaaa…”
Aku
dan Hanun seperti flashback kezaman
90-an ketika membaca bulletin PMP ini. Rasanya membara-bara, dan bersemangat.
“leader team creative thema kali ini
siapa Nun?” aku meminta Hanun membaca kehalaman terakhir.
Segera
Hanun membolak-balik bulletin kehalaman terakhir, dan dibacanya dengan seksama.
“Lee Hae Nal”
“Lee
Hae Nal?”
Hanun
mengangguk yakin, ia menatappku. “kenapa?”
“kayak
pernah dengar nama itu”
“jelas
laaaah, ini abang Enal, semester 8, angkatan sama abang lo, itu yang suka pakai
kacamata hitam bulat ke kampus, terus rambutnya gondrong” Hanun menjelaskan.
Aaaaaa.. aku ingiat. Benar.. benar.. dia si
abang Enal, yang kata mas Ayaz, orangnya rada-rada gimana gitu.
“oh
iya, dia” ucap ku datar.
“selengean
tapi kalo bikin artikel, granat banget”
Granat
adalah kata yang dipakai Hanun untuk mengartikan dari kata lain “luar biasa, hebat”, dan ini cuman Hanun
yang menggunakan.
-
Selesai
menyantap makanan di kantin, aku dan Hanun beranjak pergi, niat kami ingin
duduk santai di taman kampus. Taman kampus kami cukup nyaman, dengan rumput
hijau, pepohonan yang rindang, cocok buat mahasiswa-mahasiswi nongkrong, atau hanya
sekedar duduk santai.
Disana
ada kelompok mas Ayaz, lengkap dengan Lyan dan Enal, sepertinya dengan anggota
PMP lainnya.
“hay
Ariniiii”
Aku
menatap seseorang yang melambaikan tangannya kearah ku, ah Enal. Ku anggukan
kepala, memberi isarat bahwa aku melihatnya.
“kenal
dekat Rin?”
Aku
menggeleng. “kan temen mas Ayaz”
“oh”
Kami
pun berlalu, memilih tak bergabung dengan anak-anak PMP, karena akan sangat terasa
asing dan tidak sopan jika kami asal nimbrung dikelompok mereka, walaupun
sebenarnya ada mas Ayaz juga disitu, cuman aku bukan tipe SKSD (sok kenal sok
dekat).
“Arini”
aku menoleh lagi, melihat sekelompok anak PMP itu berdiri, dan beranjak pergi,
Enal yang memanggil. “duluan”
“iya
bang” jawab ku sembari melihat mereka pergi dari taman.
“kayak
kenal banget ya”
Aku
cuman bisa mengangkat kedua pundak ku, karena aku tak punya jawaban yang tepat
untuk menjawab kalimat Hanun.
***
Jam
08.15, dosen tak kunjung datang. Sebagian mahasiswa kebingungan, karena tak
biasanya dosen terlambat lebih dari lima menit. Banyak yang tak peduli, banyak
pula yang sibuk mencoba mencari tau ke bagian akademik.
“semoga
dosennya gak ada” Hanun berdoa.
“amin”
sahut ku.
Kami
tertawa.
“Annyeong haseooooo” Ucapnya dengan
lantang dan keras, mengguncang seisi kelas.
Kami
diam, si penyuka kacamata hitam bulat berframe emas itu dengan santainya masuk
kedalam ruangan. Ia membawa beberapa buku ditangannya. Langkahnya berhenti
tepat didekat podium, tempat biasa dosen meletakkan alat-alat perangnya saat
perkuliahan.
Ia
melepaskan kacamatanya, ditarohnya diatas kepala. Semua mata menatap laki-laki
itu dengan tatapan bingung, termasuk aku dan Hanun.
“ngapain
abang Enal disini?”
Aku
menggeleng.
“Annyeong haseyo itu artinya hallo, jadi
kalian harus menjawab???”
“anyyeong haseyoo” Jawab sebagian
mahasiswa dengan gagap, karena ini bahasa baru ditelinga kami.
Enal
tersenyum. “kalian tau kenapa saya ada disini?”
“gaaaaak”
jawab kami serentak.
“Bapa
Yudi sedang diluar negeri, jadi,untuk kali ini, kalian akan saya temani”
Entah
kenapa, suara tepuk tangan segera mengisi ruangan kelas ini. Aku dan Hanun
tambah bingung.
“asisten
dosen kayaknya Rin”
Aku
mengangguk.
“hari
ini kita akan membahas tentang, ada yang tau?” Kami serentak menggeleng.
“tentang bagaimana kalian menanggap apa saja yang berkaitan dengan hubungan
internasional”
Satu
jam lebih empat puluh menit tak terasa berlalu. Kali ini sebagian
mahasiswi-mahasiswa keluar kelas dengan wajah sumringah, tidak seperti
biasanya. Karena mata kuliah pa Yudi termasuk mata kuliah yang sangat
membosankan, akan tetapi hari ini, berbeda, kami menikmatinya.
“Arini”
Aku
terhenti, “iya bang?”
“ketemu
lagi”
Aku
tesrsenyum. “kuliahnya keren” entah kenapa aku mengatakan ini, spontan.
“ah,
makasih, jangan kagum ya”
“gak
boleh emangnya bang?”
“Susah”
“susah?”
“susah
kalo sudah dikagumin sama kamu”
“ih
ngelantur”
“beneran,
nanti mas Ayaz cemburu sama aku, adeknya kagum sama orang lain ketimbang
abangnya”
Aku
ketawa. Enal ketawa.
“iya
deh bang, duluan ya” Enal mengangguk. Akupun berlalu pergi keluar kelas,
meninggalkan Enal yang masih sibuk merapikan sesuatu.
-
“Arin”
Aku
menoleh. Ia tersenyum sambil melangkahkan kakinya, berdiri sejajar denganku,
seperti biasa kacamata hitam bulat dengan frame kuning emasnya itu tak pernah
ketinggalan menghiasi wajahnya.
“nunggu
Ayaz pasti”
Aku
mengangguk.
“dia
lagi nemuin dosen”
“lama?”
“kayaknya
bakalan sampai sore”
“yaah,
lama banget” aku kaget, karna perlu berjam-jam menuju sore.
“ikut
aku aja”
Aku
menoleh, diam.
“kalo
gak mau gak apa-apa, cuman nunggu sampai sore”
Aku
diam, masih berpikir.
“serius
nih”
Aku
masih diam dan masih berpikir.
“lama
ey mikirnya”
“ikut”
entah kenapa aku mengucapkan kalimat ini.
“tunggu
didepan, aku ambil sepeda dulu”
Aku
kaget. Ia sudah berlari pergi meninggalkan ku. Sepeda? Pulang dengan sepeda?
Sepanjang jalan menuju gerbang depan, pikiran ku dipenuhi imajinasi aneh, apa
nanti aku harus duduk didepan, dan ia menginjak pedal sepedanya sampai rumah?
Rumah aku jauh dari kampus, emang kuat? Aaah, mending naik angkot kali ya.
Tak
lama Enal datang, yang tadinya hatiku gundah, kini aku bisa tersenyum kecil.
“ojek
neng?” ia nyengir kuda.
Melihat
Enal datang, akhirnya aku dapat menghela nafas legah, segera ku duduk manis
dibelakang tubuh Enal. Ternyata memang sepeda, hanya saja sepedanya pakai
mesin. Honda CB keluaran tahun 97 yang dimodifnya dengan mulus, sangat clasik
dan mewah.
“udah
makan?”
“belum”
“mau
icip-icip dulu?”
“kemana?”
“ada
deh”
“terserah
deh”
“ah
dasar perempuan” gerutunya membuat ku sedikit tertsenyum.
Kurang
lebih dari 10 menit, kami berhenti disebuah warung makan. Didepan warung makan
itu tertulis “warung makan joss!” dengan emoticon jempol. Aku melihat Enal yang
melepaskan helm bogo hitam dan kacamatanya, ia menatap spion kanan kendaraan,
membenahi rambut gondrongnya yang berantakkan. Ia menoleh kearahku, seakan
sadar kalau ia sedang jadi pusat perhatian ku.
“mau
ngaca juga? Disitu ada satu” ia menunjuk kaca spion kiri. Aku menggeleng dengan
senyum tipis. “kita icip-icip rawon disini, enak loh”
Rawon?
Mendengar nama makanan satu itu, sumpah aku senang. Berhubung aku sedang dengan
Enal, ku tahan kegiranganku, berusaha sewajarnya.
“oh
iya”
“masuk
yuk?” aku mengangguk mengikuti langkah kaki Enal.
“Siang
mas Enal” sapa beberapa pelayan disitu.
Enal
menyahut sapaan mereka dengan berbagai candaan yang membuat para pelayaan tertawa.
“sama
siapa mas? Pacar?” ia melirik aku yang berada disamping Enal.
“aah,
calon” singkat Enal menjawab, membuat aku kaget.
“calon
opo toh mas? Istri?”
“calon
bidadari surge, ehehehe”
“alah
mas ini, becanda mulu”
“serius
akunya” wajah Enal berubah jadi serius, lalu tertawa lagi bersama si pelayan
warung makan. “kita pesan rawon dua, minumnya tanya bidadari aja, biar kamunya
kebagian bisa ngomong sama bidadari” ia menepuk pundak si pelayan, lalu
berjalan meninggalkan ku menuju meja.
Aku
menggeleng-geleng.
“mba,
maklumin aja mas Enal, emang gitu” ucap si mas pelayan membangunkan ku, ku
tatap ia dengan tersenyum. “minumnya apa mba?”
“teh
es dua deh”
“oke
mba, silahkan duduk”
Aku
mengangguk dan berlalu pergi menuju Enal. Kami duduk besebrangan. Entah kenapa
kali ini aku tidak bisa menatap dengan benar Enal yang posisinya dihadapanku.
Terkadang aku memlihi melihat ke kanan dan ke kiri dari posisi ku duduk, merasa
sedikit kikuk.
“Rin,
gak ikut UKM?”
Akhirnya
kami berbicara. “emm belum”
“kenapa?
Gak ada yang srek?”
Aku
menggeleng. “cuman lagi bingung milih”
“coba
deh tanya kenapa aku masuk PMP”
“oke,
aku tanya, kenapa”
“astaga,
to do point banget” Enal menggerutu.
“kan
disuruh nanya”
Enal
mendesah. “gara-gara tertarik sama senior yang namanya Uman”
“hah?!”
aku kaget. Uman adalah senior angkatan 2002, yang masih aktif di PMP, dan
namanya sering disebutkan beberapa dosen saat mengajar, karena kiprahnya yang
luar biasa.
“pikirannya
jangan kemana-mana Rin” Enal tertawa melihat exspresi kaget ku. “tertarik gara-gara kiprahnya didunia pers yang
luar biasa”
Aku
menghela nafas lega. Sebenarnya kalaupun dia tertarik gara-gara dia “gay” aku tak peduli, haha.. hanya saja
aku akan tetap terkejut.
“ku
kira gay” ucap ku pelan.
Enal
tertawa keras. Aku ikutan tertawa.
“kalau
aku gay, aku juga bakal milih pasangan gay ku yang seperti apa, masa Uman”
Kali
ini aku tertawa lepas. “ngomongin orang”
“kamunya
sih”
“maaf-maaf,
lanjut bang”
“kalo
kamu baca artikel-artikel sama tulisan-tulisan buatan dia, kamu pasti nemu satu
sesuatu, dia fokus dan konsisten”
Aku
mencoba memahami.
“ditambah
dia kritis, tidak takut dalam mengungkapkan sesuatu dalam tulisannya, ditambah
sangat akurat dan jujur, tidak dilebih-lebihkan. Kamu tau” aku mulai tertarik
dengan pembicaraan Enal siang ini. “berita dan artikel zaman sekarang, banyak
yang terlalu lebay dan melebih-lebihkan” aku mengangguk, karena sangat setuju
sekali.
“kamu
pernah liat ibu-ibu atau bapa-bapa marah pas nonton atau baca berita kematian
seorang anak yang dibunuh temannya?” aku mengangguk lagi. Ini berita paling
ngehits pekan ini “pasti mereka mengutuk habis-habisan sipembunuh” aku
mengangguk lagi “sebenarnya, kalau kita liat apa alasan si anak membunuh
temannya, kita bisa mengubah pola pikir mereka, kita tidak harus memberi judul:
anak perempuan SMA malang dibunuh oleh temannya sendiri. Tunggu, emang benar
mereka temanan? Coba tanya sama anak sekelasnya, gak lah, siapa tau si pembunuh
dendam, loh dendam kenapa? Dendam karena selalu di bully, naaaah.. seandainya berita pembunuhan ditulis dengan
kata-kata lain seperti: setiap pembullyan,
menyisakan dendam. Ditulisannya difocuskan tentang pembullyan yang mengubah seorang korban bullying membalas dendam dengan cara yang salah.” Ia menatap mata
ku. “kamu bisa ambil kesimpulan dari yang aku omongin Rin?”
Aku
mengangguk. “seharusnya semua penulis atau reporter itu jujur, karena setiap
yang kita tulis dapat memberikan dampak yang luar biasa terhadap masyarakat
luas, seandainya point utamanya bukan hanya tertuju pada si pelaku, tapi juga
pada sebab yang ditimbulkan korban hingga membuat si pelaku berlaku seperti
itu, karena masyarakat selalu mudah percaya dengan tulisan dan berita yang
ditayangkan, mudah terpengerahu”
Enal
langsung menjentikan jarinya. “naaaaah, itu dia, bener banget Rin. Setiap kata
dan kalimat yang ada di artikel dan berita, dapat mengubah opini satu bahkan
seluruh masyarakat, si pelaku mungkin sekarang setresnya bukan main, sudah
dapat hukuman pidana, malah dapat hukuman sosial”
Kali
ini siangku sangat istemewa, pembicaraan berat namun dengan suasana ringan dan
santai itu sangat membuat ku merasa terbuka, aku sangat senang sekali.
“masuk
PMP deh”
“Ah
gak ah”
“kan
ada mas Ayaz”
“karena
ada mas Ayaz, akunya gak mau”
“syukur
deh”
“ko
syukur?”
“dikira
gak mau gara-gara ada aku” ia tersenyum dengan lebarnya menatapku.
Aku
hanya bisa tersenyum membalas guyonannya siang itu.
-
Tepat
jam 14.32, aku dan Enal sudah tiba didepan rumah. Aku berdiri didekatnya,
didepan pagar, ia melepas kaca matanya.
“bayar”
“hah?”
“bayar
ongkos ojek sama makan rawon plus teh es”
Segera
ku buka tas ransel ku, mencari dompet. Ia tertawa.
“gak
pakai uang”
Aku
terhenti membuka dompet, menatapnya bingung. “terus apaan bang?”
“pokoknya
jangan pakai uang” ia kembali mengenakan kacamata hitamnya “abang balik dulu,
assalammu’alaikum”
“waaa’alaikumsalam”
ucap ku dengan nada gagap, bingung dengan suasana saat itu.
Hah..
jangan pakai uang? Terus apa? Sepanjang langkah ku menuju kamar, yang ku
pikirkan hanya itu. Entah kenapa jadi terpikir, biasanya aku tak akan peduli. Tapi
siang hari ini cukup menarik.
***
2. Permen Karet
“woaaah,
idola kampus minggu ini abang Enal” Hanun mendekati ku, ia segera duduk
disamping kananku sambil meletakkannya bulletin mingguan PMP diatas meja makan
kami. Ku lirik.
Foto
Enal dengan ciri khas stylenya, kacamata hitam, baju kaos oblong hitam, kemeja
flannel kotak-kotak, celana hitam yang robek dilutut, sepatu khat converst,
ditambah rambut gondrongnya berpose gagah diatas kendaraan Honda Cbnya, aku
yang melihatpun kaget, sumpah gagah.
“fotonya
bagus” ucapku seadanya.
“bagus
banget, bisa jadi model majalah padahal kan Rin?”
Aku
mengangguk, lalu ku alihkan pandanganku kemangkok bakso yang sisa setengah, aku
kembali fokus menyantapnya.
“omo.. omoo.. (*astaga) abang Enal ini
blesteran korea-indonesia, ih manteb” aku tak menghiraukan Hanun yang asik
berbicara sendiri karena kagum. “cita-citanya keren bang, jadi reporter
internasional, manteb, Hanun dukung” ku lirik Hanung yang sangat exited sendiri membaca artikel tentang
Enal pagi itu.
-
Setelah
sepekan galau tentang UKM, akhirnya aku memutuskan untuk ikut UKM Teater,
folmulir pendaftaran sudah ku serahkan ke panitia, dan hari ini, adalah hari
perekrutan, dimana calon-calon anggota barunya akan di audisi di aula kampus.
Jumlah yang akan diaudisi cukup banyak, sekitar 75 orang, karena banyaknya yang
mendaftar, maka audisi dibagi menjadi dua hari, dan aku masuk dihari pertama,
di line dua, yang ku tau sang pengaudisi adalah abang Reza, semesternya sama mas
Ayaz dan Bang Enal.
-
“semangat
Rin” Hanun menepuk pundakku.
Aku
menganggup, lumayan gugup rasanya.
“Rin”
Aku
dan Hanun menoleh, mas Ayaz dan beberapa anak-anak pers datang mendekati ku.
Mereka terseyum melihat kearah kami, kami pun tersenyum, aku seadanya, maklum
gugup.
“urutan
keberapa?”
“27”
“semangat,
gugup boleh, tapi jangan kacau” aku mengangguk mendengar pesan singkat Ayaz.
“Reza
kan yang ngeaudisi?” Aku mengangguk. “harus total, Reza orangnya detile Rin”
mendengar kata-kata Lyan, jantung ku rasanya semkain kencang berdetak.
Aku
cuman bisa membalas dengan senyuman kecut kemereka.
Setelah
berbincang sebentar, mereka pun pergi, ucapan semangat mereka cukup membantu,
setidaknya mengurangi rasa sedikit gugup. Satu persatu calon-calon itu masuk,
setelah mereka yang masuk, giliran ku.
“Arin”
Aku
menoleh. Enal berlari menghampiri ku.
“bang?”
Beberapa
anak yang berbaris dibelakang ku, terlihat saling berbisik melihat kearahh kami
berdua, mungkin mereka bingung, sejak tadi beberapa senior menghampiri ku,
ditambah si senior ngehits satu ini datang.
“nih”
ia meletakkan beberapa permen karet digenggaman tangan kanan ku. “makan kalau
gugup”
“tapikan
aku mau audisi”
“ah
makan aja”
“heh?”
“semangat
ya, daaah” ia berlalu pergi.
Aku
memandangi permen karet, entah kenapa, aku mengikuti instruksi Enal, mengunyah
permen karet selama waktu menunggu.
**
“Heii!”
Aku
kaget mendengar seseorang berteriak kencang. Kesal rasanya dibuat kaget, ku
toleh kebelakang. Enal berlari mendekati ku.
“gimana?
Lancar?”
Aku
memasang exspresi datar. “hemmm”
“Waeyo? Gwenchana?” mendengar kalimat itu aku tersenyum kecil mendengar, ia
mengucapkan bahasa aslinya, korea. “Paliii”
“pakai
bahasa Indonesia bang, gak ngerti akunya”
“astaga,
maaf – maaf”
“lancar
ko, pengumumannya besok”
Enal
menghembuskan nafas setengah legah. “aku kira hari ini” ia kembali berlalu
pergi dengan wajah datarnya.
Aku
kaget melihat ia pergi. Mata ku menatapi punggungnya yang pergi dari mata ku.
“dasar
aneh” gerutu ku setengah kesal.
-
Malam.
Gelak tawa khas anak-anak laki terdengar kencang hingga kedalam kamar ku yang
pintunya terbuka sedikit, perlahan ku dekati pintu kamar, ku lirik keluar
kamar, tepat dikamar mas Ayaz terlihat beberapa anak laki-laki. Aah, paling
teman-temannya sedang berkumpul, ini hal biasa, ku tutup kembali pintu
rapat-rapat.
-
“eh
Arrin” sapa seseorang.
Aku
menoleh, Lyan dan Enal muncul, mereka masuk kedapur.
“eh
bang”
“mau
masak?”
Aku
menggeleng. “habis minum jus”
Lyan
mengangguk.
“kita
disuruh Ayaz ngerampok kulkas, boleh?”
Aku
tersenyum. “boleh, rampok aja, asal jangan sama kulkasnya ya”
Enal
tertawa, aku tertawa.
“sikaaat
Nal” ucap Lyan sembari membuka pintu kulkas.
Mereka
mendapati beberapa macam makanan dan minuman dingin yang cukup untuk mereka
santap sepanjang malam.
Setelah
cukup dengan hasil rampokan Lyan pergi lebih dulu kekamar, menyisakan aku dan
Enal didapur.
“eh
Rin”
Langkah
kakiku terhenti, ku toleh Enal yang kerepotan membawa tiga minuman dingin ukuran 1,5L dan tiga macam
snack didalam rengkulannya. Segera ku ambil alih tiga macam snack dari
rengkulannya.
“aku
bawain deh”
“makasih”
Aku
dan Enal melangkah menuju kamar mas Ayaz.
“eh
Rin”
“hmmm?”
“kemaren
audisi nampilin peran apa?”
“tebak
deh”
“antagonis
pasti”
“ko
tau”
“soalnya
mukanya pas jadi antagonis”
“ih
asem” gerutu ku.
Enal
tertawa. “yakin lolos gak?”
Aku
menggeleng.
“ko
gitu?”
“bang
Rezanya gak ada komentar apa-apa pas aku tampil, dianya cuman diam, cuman
bilang: silahkan, sudah? dan terimakasih, jadi bingung”
Enal
tertawa. “Reza emang gitu, makanya jomblo”
Aku
menoleh, tertawa. “kenapa gitu?”
“dingin
banget sih orangnya, dia tu ya, gak cocok sama kamu”
“heh?”
“dia
dingin, kamunya jutek, entar anaknya jadi apa coba?”
Aku
tertawa. “jauh amat mikirnya”
“aku
kan paranormal” ia tertawa.
“oh
ya, kalo gitu ramalin aku bang, lolos apa gak?”
“lolos”
Jawab Enal cepat dan yakin.
“aah,
amin”
“amiiin”
sahutnya.
Kami
sampai tepat didepan pintu kamar mas Ayaz, ia menyuruhku kembali meletakkan
snack didalam rengkulannya.
“ingat
ya Rin, aku paranormal”
“iya-iya”
“masuk
dulu ya, anak perempuan dibawah umur gak boleh ngintip, nanti shock” aku tertawa, Enal tertawa.
Ia
pun masuk kedalam, aku kembali kedalam kamar.
***
“Ariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin”
Pagi-pagi
suara Hanun sudah mengguncang kampus, ia berlari dari ujung lorong hingga
mendekati ku. Dengan nafas terengah-engah ia menghampiri.
“atur
nafas dulu Nun”
“huuu
haaa huuu haaa” Hanun mencoba mengatur nafasnya. “Rin”
“heh?”
“lo
lolos UKM Teater”
“HAH?”
“LULUS!!!!!”
“LULUS!!!!!”
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
sontak ku peluk Hanun dengan gembiranya. Begitupun Hanun, kami jingkrak tak
karuan ditengah-tengah koridor kampus.
“Selamaaaat
Rin” Ucapnya
Aku
mengangguk kesenangan.
-
Berita
aku lulus dari teater ternyata sampai ketelinga mas Ayaz dan kawan-kawannya.
Saat tiba di sekre PMP, beberapa senior-senior memberi ku selamat, karena kata
mereka yang lulus cuman 20 dari 75 orang, persaingan yang sangat ketat ucap
mereka.
Aku
duduk manis diruang tamu sekre PMP.
“ciee
anak teater” goda Gilang, yang ku tau ia adalah seketaris dikepengurusan UKM
PMP ini, ia duduk didekat ku.
Aku
tersenyum tak hentinya hari ini. “makasih bang”
“nanti
bakalan jarang nongkrong di sekre PMP dong” godanya.
“ah
bang, kan sekre PMP sama sekre teater deketan”
“iya
deketan, tapi berasa jauh” sahut Lyan sembari duduk tak jauh dari tempat ku
duduk.
Aku
menoleh. “ko gitu?”
“kan
anak-anak teater suka sibuk” Jawab Gilang.
Aku
hanya tersenyum menanggapi guyonan mereka.
-
Setelah
selesai berurusan dengan mas Ayaz, aku pamit dengan anak-anak PMP untuk kembali
ke kampus. Sesaat keluar dari gedung besar itu, muncul sosok lelaki dengan
kendaraan Honda Cbnya yang taka sing dimataku, ia adalah Enal dengan style khasnya, ia berhenti tepat
didepanku, dibukanya kacamata hitamnya.
“mau
kemana?”
“kampus,
ada kuliah”
“kuliah
pa Zainal?”
Aku
mengangguk.
“diliburkan”
“sok
tau”
“ingat
Rin, aku paranormal” dipasangnya raut wajah serius.
Ku
raih ponsel yang ku letakkan dikantong celana jeans. Ada satu pesan masuk, ku
buka. “aaah bener”
“tuh
kan” ucap Enal segera dengan nada meyakinkannya.
Aku
mengangguk dan tersenyum. “bener-bener paranormal”
“Enal”
ucapnya dengan bangga sambil menepuk dadanya.
Aku
tertawa melihat.
“jadi
tetap mau kekampus?”
“emmm,
iya, mau nyantap di kantin”
“kebetulan,
mau makan juga akunya, ikut aku aja”
Aku
diam.
“aku
tau tempat dimana bakso yang enak”
“bukannya
bakso mang dadang yang paling enak?”
“bukan
lah, mang dadang cuman jago kandang”
Aku
tertawa. Enal juga.
“jadi
ikut?”
Akhirnya
ku putuskan menerima ajakan Enal. Kami pun pergi menuju suatu tempat yang hanya
Enal tau.
-
Bakso Lara Hati. Aku diam memandangi
nama bakso yang dituju Enal. Enal menatapku, ia tersenyum.
“aneh
ya namanya?”
Aku
menoleh. “iya”
“lara
itu nama anaknya, hati itu juga nama anaknya”
“ko
tau?” belum sempat Enal menjawab, aku sudah tersadar “oh iya paranormal”
Enal
tertawa. “masuk yuk, keburu anaconda dalam perut nangis kalo nunggu kamu
selesai mandangi Lara Hati”
Aku
tersenyum sembari mengikuti langkah Enal masuk kedalam.
Warung
bakso lara hati ini tak luas, hanya bisa menampung sekitar 15 orang saja,
lokasinya pun tak strategis, lumayan tersembunyi. Pelayannya hanya bertiga,
semuanya laki-laki.
“bang,
yang mana Lara sama Hati?”
“heh?”
Enal bingung. “mereka kuliah lah, masa jualan”
“loh?
Gak bantu ayahnya?”
“heh?
Yang bilang ayahnya jualan siapa?”
“eh
iyaya, gak ada” ku garuk kepala ku dengan kebingungan, layaknya orang bodoh
saat itu.
Enal
tersenyum. “ayahnya cuman buka usaha bakso, yang jual anak buahnya, dikasih
nama Lara sama Hati, biar anaknya kuliah diluar negri seneng”
Aku
terkejut. “serius kuliah diluar negri?”
“gak
percaya pasti, tanyain nih”
“tanyain
ke siapa?”
“ayahnya”
“kan
pemiliknya gak jualan”
“kan
ada no hapenya tuh” Enal nunjuk kertas menu yang dilaminating dan ditempel
didinding kayu dengan paku payung, tepat dihadapan kami.
Aku
tertawa kecil. “oh iyaya, gak usah ah bang, anggap aja akunya percaya”
“percaya
aja ya”
Aku
mengangguk.
Akhirnya
pesanan bakso khas lara hati datang, kata Enal baksonya luar biasa nikmat, kalo
dikasih nilai, masuk angka 99 katanya.
“kenapa
gak kasih nilai 100 aja sekalian bang?”
“kalo
100 berarti sempurna, kan sempurna hanya milik Allah SWT”
Aku
mangut-mangut.
“makanya
aku gak mau dapat nilai 100 kalau ujian”
“loh
kenapa?”
“takut
kualat, karena aku sadar, aku hanya manusia yang gak sempurna”
Aku
kelikikkan tertawa.
Santap
siang kami akhirnya berakhir. Aku memilih untuk tidak kembali ke kampus, dan
memilih untuk diantarkan Enal pulang langsung kerumah.
-
“lain
kali aku yang traktir ya bang”
Enal
menatapi ku dengan wajah bingung.
“masa
kalau jajan sama abang ditraktir mulu”
“kalau
aku mintanya mahal-mahal gimana?”
“ah
jangan, aku kasih target kalau aku yang traktir”
Enal
tertawa. “ah pelit”
“perhitungan
akunya bang” ucapku sembari tertawa.
“entar
kalau kamunya sudah kerja baru boleh traktir aku”
“emang
abang sudah kerja?”
Enal
mengangguk.
“heh?
Serius?”
“kan
aku paranormal, kerjaan ku meramal orang-orang”
Aku
menghela nafas kesal. “aaah kirain”
Enal
tertawa. “nanti ya traktir aku”
Aku
mengangguk.
“balik
dulu ya, assalammu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”
Enal
pun berlalu pergi dari pandanganku
-
Ku
pandangi langit kamar, malam ini malam minggu, kalian pasti tau lah malam
minggu ini malam apa bagi kaula muda, ya malamnya mereka, tapi tidak dengan ku,
aku tidak terbiasa dengan dunia malam. Perlahan mata ku beralih melihat teras
luar kamar, segera ku bangkit di kasur, melangkah menuju pintu teras kamar, ku
buka, ku dekati pagar teras, malam itu rasanya sejuk sekali.
Ku
lirik dihalaman rumah, mas Ayaz sedang sibuk melap mobilnya, pakaiannya nampak
terlihat sangat rapi.
“mas”
Ayaz menoleh melihat keatas, tempat dimanaku berdiri. “mau kemana?”
“mau
jalan sama Vela” Vela adalah gebetan barunya, yang ku tau dia adalah anggota
UKM Musical angkatannya juga. “mau ikutan?”
“hahaha,
ogah”
“kamu
jangan kemana-mana, dirumah aja, mas gak lama, cuman mau jajan”
“beliin
ya”
“hmm,
kalo ingat”
“isssh”
gerutu ku.
Setelah
pamit, mas Ayaz pun pergi ke rumah Vella. Menyisakan aku sendirian dirumah.
Iya, bunda dan Ayah sedang tak ada dirumah, mereka sedang ada tugas keluar kota
selama dua pekan. Rumah sepi rasanya.
Entah
sudah berapa lama aku berdiri diteras luar ini, tak sadar lagi. Ku putuskan tuk
masuk, semakin lama aku berada diluar kemungkinan akan masuk angin pikir ku.
Sesaat ku hendak memutar langkah masuk kedalam, suara sepeda motor yang khas
segera masuk kedalam halaman rumah. Kembali ku tengok siapa.
Laki-laki
itu berhenti tepat dihalaman, segera ia lepaskan helmnya. Aku sangat mengenali
siapa itu.
“bang”
Ia
menoleh kesana kemari, mencari sumber suara.
“diatas
bang”
Ia
menatap keatas. “eh kamu, Ayaz ada?”
“gak
ada, katanya mauu jalan sama Vella”
“astagaaa,
lupa lagi kan” Ucapnya dengan nada kecewa dan setengah kesal.
“kenapa
bang?”
“mas
mu janji dengan ku mau main pees malam ini, anak-anak juga bakalan datang”
“hah”
aku kaget “bang masuk gih”
“pintunya
tertutup Rin”
Aku
tertawa. “iya bang, tunggu ya aku buka”
Ia
mengangguk. Segera aku keluar kamar, berlari dengan cepat menuju ruang tamu,
membukakan pintu untuk lelaki bertubuh 182cm itu.
Ku
buka pintu, ia sudah berdiri menunggu. Aku tersenyum menatapnya. Malam ini ia
tak mengenakan kaos berwarna hitam, ia mengenakan kaos berwarna putih dengan
gambar huruf A besar didada, ditambah kemeja flannel yang tak dikancingnya,
celanannya hitam pensil, tak ada robekan, tas kecil yang melingkar dibahunya
dan tak lupa kacamata hitamnya.
“cepet
juga ya buka pintu”
Aku
tertawa kecil. “masuk bang”
“allhamdulilah
ditawarin masuk”
Aku
tertawa lagi. Kami memilih duduk santai dihalaman belakang, tepatnya digajebo
kecil. Tempat favorit kawan-kawan kalau kumpul.
“yang
nyusul datang banyak bang?” tanya ku sembari menuangkan air soda kecangkir yang
ku sediakan untuk Enal.
Enal
mengangguk. “aku, Gilang, Lyan, pacar Lyan, Engkoh, Ambe, Nouval sama Reza”
Aku
hanya mangut-mangut dengan beberapa nama yang Enal sebutkan, karena aku
sepertinya asing.
“perlu
aku telponin mas Ayaz bang?”
“gak
usah, tadi sudah aku telpon dia, katanya tunggu saja, sekalian dia minta jagain
kamu dirumah”
Aku
tersenyum.
“memangnya
aku ini sercurity ya dimata mas kamu”
Aku
tertawa. “ada bakat kali bang”
“aku
kan paranormal bukan parabisa” (*sebutan yang dibuat Enal untuk orang serba
bisa)
“eh
bang, emang abang Lyan punya pacar?”
Enal
mengangguk. “iya, angakatan kamu”
“heh?
Siapa?”
“kamu
gak tau?”
Aku
menggeleng. “itu Hani”
“oooh”
“kamu
tau, Hani itu keponakan ku”
Aku
kaget. “hah?”
“iya,
keponakan jauh tapi, cuman yaaa masih hitungan keluarga lah”
“ko
bisa”
“Hani
yang minta kenalin ke Lyan, aku cuman mempertemukan mereka, sisanya ku bilang
Tuhan lah yang ngatur, eh malah pacaran ternyata” ia menggeleng sambil tertawa,
aku pun tertawa.
“abang
juga gak minta comblangin gitu sama anak-anak yang lain?” entah kenapa aku
bertanya macam ini kepadanya malam ini.
Enal
tersenyum seadanya. “cemen kalau aku minta comblangin, aku harus usaha sendiri
kalau aku mau deketin perempuan”
Aku
diam, pelan mengangguk. Ku lirik wajah Enal malam itu, ia menatap kearah lain,
entah kenapa auranya malam ini berbeda. Arin..
sadaaaaaar, segera ku lempar kelain pandangan ku.
“assalammu’alaikum”
Aku
dan Enal segera menoleh kearah pintu. Sosok Lyan dan Gilang datang dengan
membawa dua kantong plastik yang berisi berbagai makanan ringan. Segera mereka
menghampiri kami, duduk didekat kami.
“waaah,
berduaan” goda Gilang.
“jadi
sercurity Arin aku malam ini”
“digajih
gak?”
“iya,
gajihnya ucapan thanks”
Gilang
dan Lyan tertawa.
“loh
bang” aku menatap Lyan “gak sama Hani?”
“gak
ah, ada om nya disini”
“om-om
ganteng” sahut Enal sembari membuka semua isi kantong plastik yang Gilang dan
Lyan bawa.
Aku
tertawa. “kan padahal biar ada temennya Arin disini”
“kapan-kapan
ya nanti Hani abang ajak” ucap Lyan sembari memainkan kedua alisnya turun naik.
“izin
dulu sama om nya wooy” Enal melempar kulit kacang kearah Lyan.
“ampun
om” ucap Lyan.
Aku
kembali tertawa melihat tingkah mereka malam itu. Malam semakin larut,
perkumpulan anak laki-laki itu tak henti-hentinya bercanda gurau di malam
minggu. Jam menunjukan angkat 12, aku melangkah masuk, rasa kantuk tak
tertahankan lagi.
“rin”
Aku
menoleh, melihat siapa yang memanggil. Enal baru keluar dari toilet.
“eh
bang”
“udah
mau tidur ya?”
“iya,
udah ngantuk”
Perlahan
Enal mendekati ku. Ia tersenyum manis, tangan kanannya merapikan helaian rambut
yang berantakan diwajah ku, mata kantukku berubah, aku terkejut melihat reaksi
Enal.
“anak
kecil memang harus sudah tidur kalau jam begini” ia mengucapkan tangan kanannya
dikepala ku, tersenyum manisnya menatap wajah ku “jangan lupa berdoa”
Aku
mengangguk dengan berat. Enal pun pergi kembali ke halaman belakang, akupun
begitu, kembali melanjutkan langkah kaki ku menuju kamar.
Ku
hempaskan tubuhku diatas kasur, mata ku menatap langit malam kamar. Entah
kenapa rasa kantuk yang begitu dahsyat ku rasa tadi, hilang dengan seketikanya,
mengingat apa yang dilakukan Enal terhadap ku tadi.
“aaaaaaaaaaaa”
ku tutupi wajah ku dengan bantal.
***
“loh,
arin dikemanain?” rengkek ku siang itu dalam pembiacaran via telpon.
“naik
taxi, ah jangan .. bentar, tunggu aja disitu, nanti dijemput, 15 menit lagi,
oke”
“hmmm”
sahut ku dengan nada kesal.
Pembicaraan
via telpon berakhir. Seperti pintanya mas Ayaz aku disuruh menunggu didepan
kampus, ia berjanji akan menjemput, tapi 15 menit lagi. Tak lama kemudian.
“Hei!”
Aku
menoleh, ya si Enal lagi.
“ayo
pulang”
“nunggu
mas Ayaz”
Enal
tersenyum “abang kau yang suruh aku tuk jemput, ayo”
Aku
melongo.
“ayo”
Mas
Ayaaz! Segera ku bangkit dari tempat ku berdiri sejak tadi, menuju kendaraan
Enal, seperti biasa duduk dibelakang bersamanya. Entah kenapa rasanya
akhir-akhir ini aku nampak sering duduk diatas kendaraan Enal, rutinitas kami
berjumpa seakaan lebih banyak. Entah lah.
Kami
segera meninggalkan kampus. Menyusuri jalana raya. Dipertengahan jalan,
tiba-tiba Enal berhenti dipinggir jalan, mengeluarkan ponselnya dengan cepat,
lalu menyimpannya lagi.
“Arin”
“hmm?”
“kita tunda dulu pulangnya ya? Ibu aku panggil”
“kita tunda dulu pulangnya ya? Ibu aku panggil”
“heh?”
“bentar-bentar,
genting katanya”
“eeeh
.. i.. iya” kendaraan kembali melaju.
Dengan
kecepatan penuh kendaraan Enal melaju dijalan raya. Setelah menjejal jalanan
raya, akhirnya kami tiba di perumahan nan asri, masuk kedalam halaman rumah
yang luas dan hijau. Bangunan rumah khas Belanda itu nampak sejuk, segera aku
turun dari kendaraan, begitupun dengan Enal.
“Ibuuu”
Enal melangkah masuk kedalam rumah, aku mengikutinya.
“Haaaaaaay”
Sahut seseorang didalam rumah.
Kami
berhenti tepat di dapur. Seorang sosok ibu rumah tangga menyambut hangat
kedatangan kami.
“yang
mana bu?”
“itu
susah sekali” ia menunjuk selang gas yang terlepas. “ibu gak bisa benerin”
Enal
tanpa pikir panjang dan omong lebar, segera melepaskan tasnya, diletakkannya
dilantai, dan langsung menyerbu selang beserta perangkatnya, tak perlu waktu
lama, selang itu kembali terpasang, komor gas pun kembali memancarkan api
seperti sedia kala lagi.
“Allhamdulillah”
ucap Ibu itu dengan wajah legah. “untung ada kamu, bisa lah sudah ibu masak”
Enal
tersenyum dengan bangganya. Ia melirik kearah ku, tersadar akan kedatanganku,
Ibu menoleh, ia tersontak kaget.
“ya
ampun, ada bidadari, sejak kapan?” ia melirik Enal dengan wajah seolah-olah
kebingungan.
“sejak
tadi lah bu, aku lupa ngenalin, hehe” Enal segera mendekati tubuh ku. “dia
Arini bu, adeknya Ayaz”
“Ayaz?”
Ibu kaget. “serius?” aku mengangguk mencoba meyakinkan keraguan. “astagaa,
pantes mirip banget” ia tersenyumm lebar nan hangat. “abangnya tampan, adeknya
cantik banget”
Aku
tersenyum malu mendengar pujian-pujian perempuan yang ku taksir umurnya adalah
empat puluh satu.
“makasih
bu”
“ajak
Arin duduk diruang tamu, biar ibu siapin minuman sama makanan”
“aaah,
bu, gak usah, gak usah repot-repot” tolak ku dengan sopannya.
“repot-repot
aja bu, gak apa-apa, kita ikhlas ko bu” Timpal Enal membuat ku melongo.
Ibu
tertawa. “hahaha.. iya duduk aja lahh dulu kalian pokoknya, ibu beres-beres
dulu”
“siap
komandan” Ucap Enal dengan lantang, lalu menarik lengan ku untuk pergi dari
dapur, menuju ruang tamu rumahnya.
Aku
duduk disofa dengan Enal.
“jadi
ngerepotin deh”
“yang
kayak gitu gak repot ko, yang repot itu kayak tadi, gak bisa benerin selang gas”
Aku
ketawa kecil. “dirumah ibu sendirian aja?”
Enal
mengangguk. “anaknya pada ngelayur kemana-mana, suaminya juga”
Ah
ngaco pikirku.
Mata
ku menatap ke sebuah foto berukuran 15R, yang dibingkai dengan frame cantik,
terpajang didinding rumah ruang tamu. Didalam foto itu terlihat ayah dan ibu
serta Enal dan laki-laki yang ku duga adalah kakanya, mereka mengenakan pakaian
seragam, sasirangan.
“dua
bersaudara?”
Enal
mengangguk. “aku paling tampan, dan kaka ku paling gagah, aku tak mau
disamakan. Hehe.. keren kan baju kami?” Aku mengangguk. “itu ku dapatkan
sewaktu aku dan kaka kau PPL di Kalimantan Selatan. Bareng kaka kau”
“oh
yang dua bulan itu ya?”
Enal
mengangguk.
“Hidangan
datang” Ucap Ibu sembari membawa nampan berisi minuman dingin dan beberapa
cemilan yang menggota selera makan.
Dihidangkannya
diatas meja dihadapan kami berdua. Aku kaget, aroma dan visualnya luar biasa,
cantik dan menggoda.
“ayo
disantap Arini”
Aku
mengangguk senang, segera ku santap beberapa cemilan yang tersaji.
“tadinya
kalian mau kemana?”
“mau
nganter Arini ke penitipan Bu”
Aku
kaget, Ibu juga, kami menatapnya dengan tatapan bingung.
“penitipan?”
“dia
anak hilang bu, kakanya tak kunjung datang untuk menjemput, makanya mau aku
antar ke penitipan”
“ngaco”
gerutu Ibu sebal melihat wajah datar Enal saat menjawab. Ia kembali menatap ku.
“jangan dengerin dia ya Rin, orangnya memang ngaco gitu”
Aku
mengangguk. “iya bu, suka gitu orangnya”
“abang
kau belum datang-datang ya”
“paling
mampir ke tempat ande bu”
“oh
iya” ia mengangguk.
Aku
diam.
“Ande
itu pacar abangnya Enal, nama abangnya Enal itu Lee Hae Joon” aku kaget “kati
panggil dia Joon, kau liatkan foto itu” ibu menunjuk foto yang ku pandangi tadi
“ayahnya Enal, korea banget kan”
“Banget
bu”
“itu
lah kenapa wajah mereka berdua ke asiaan banget, ibu hebat kan memilih suami”
dengan bangganya ia melempar senyuman ke arah kami berdua.
“iya
bu, hebat banget” Ucap ku kagum sambil mengacungkan dua jempol.
“kamu
kalau nikah sama Enal, ibu yakin anaknya top cer banget”
“ibu”
Ucap Enal pelan.
Ibu
tersenyum seakan paham. “kan ibu cuman berrandai-andai ya Rin ya” aku
menggangguk sembari tersenyum. “habisnya Arini cantik sekali, kamu tu Nal,
cepat-cepat deh cari pacar, jangan kelamaan jomblo” aku menahan tawa kala itu,
Enal hanya diam. “kalian ngobrol aja dulu ya, ibu mau ke dapur dulu,
nyelesaikan sisa kerjaan”
“iya
bu”
Ibu
pun berlalu pergi. “dihabisin ya dihabisin” tambahnya.
“udah
berapa lama jomblo bang?”
Enal
kaget. “sebelum masehi”
Aku
tertawa, Enal tertawa juga.
“ih
pantes diomongin ibu gituan, makanya cari pacar bang, biar tambah semangat
kuliahnya”
“ah
tanpa pacar juga udah semangat kuliah, apalagi ada spesies kayak kamu gini”
Aku
diam sesaat, segera ku coba sesantai mungkin menanggapi perkataan Enal saat
itu.
“aku
mah emang bikin orang-orang semangat ya” sembari tertawa kecil.
Enal
menaikkan bahunya sembari mencibir kecil lalu meminum secangkir teh es yang
disajikan untuk kami.
-
Aku
berdiri didepan rumah, Enal sibuk menjepit helm yang tadi ku kenakan.
“bang”
“hemm?”
“besok
sibuk?”
Enal
langsung menoleh dengan tatapan bingung. “Wae?” (*wae=kenapa?)
“ah
gak jadi”
“loh
loh loh .. selesaikan dulu”
“ah
gak jadi, abang pulang deh”
“loh
kok jadi ngusir?”
“eh
iyaya, maaf .. makasih bang sudah menghantarkan aku pulang” ucap ku dengan nada
manis ala kekanak-kanakan.
Enal
tertawa kecil. “besok aku mau ke pameran buku di kampus tetangga, ikut?”
“naaah,
aku mau ngajak abang kesitu, soalnya Hanun gak bisa, mas Ayaz pasti sama
pacarnya”
“iyaya,
besok ya, pulang dulu atau langsung dari kampus?”
“langsung
aja deh ya”
“oke”
“oke”
-
Sudah
dua jam aku berbaring diatas kasur kamar, menatapi langit-langit kamar yang ku
desain seolah-olah itu adalah langit dengan motif awan-awan karya mas Ayaz,
digambar begituan biar seger aja dipandang dari pada polos. Kalau kalian liat
kamar mas Ayaz akan berbeda lagi. langit-langit kamarnya di desain serupa
langit malam, banyak bintang-bintang abstrak buatannya.
Pikiran
ku malam ini entah kemana-mana melayang, aku bingung. Entah kenapa wajah Enal
kadang datang ditengah-tengah lamunan ku, dan berulang-ulang pula aku mencoba
menghapus bayangan itu dengan berbicara sendiri.
Arini bangun arini ..
*
“abang
jemput jam berapa?”
“gak
usah, Arini sudah ada janji”
“sama
siapa?” mas Ayaz menatap ku dengan tatapan bingung.
Langkah
kaki kami tiba-tiba berhenti bersamaan, tepat ditengah-tengah koridor kampus. Kami
saling pandang, ini pandangan paling absurt dari mas Ayaz ketika menatap ku.
“cowok?”
“bang
Enal”
“heh?
Ngapain? Kemana?”
“ke
pameran buku di kampus sebelah”
“ohh”
kami kembali melangkah bersama “kirain mau ngedate”
“jangan
jauh mikirnya mas” gerutu ku
Mas
Ayaz tertawa. “gak apa-apa lagi, Enal orangnya baik”
“apaan
sih, biasa aja kali”
Mas
Ayaz sontak mengelus-elus kepala ku, rasanya hangat dan menyenangkan setiap
kali mas Ayaz mengelus kepala ku, itu hal yang ku suka dari mas Ayaz.
Kami
kembali melangkah. Diujung koridor sana, terlihat beberapa anak laki-laki
seangkatan mas Ayaz sedang berkumpul.
“Ayaz”
teriak mereka seolah memberi isarat keberadaan mereka ke mas Ayaz.
Ayaz
mengangguk. Kami segera menghampiri mereka semua. Disana ada Vyan, Lyan, Reza
dan banyak lah pokoknya, aku tak hafal satu-satu. Tapi, tak ada Enal disitu.
“Hay
Arini” sapa seseorang dengan ganjennya.
Aku
cuman memberi isarat berupa anggukan kepala.
“udah
selesai kuliahnya?”
“belum
bang, masih ada beberapa semester lagi, skrpsi aja belum” sahut ku datar.
Sontak
mereka tertawa mendengar jawaban ku kala itu. Aku ketawa kecil.
“nyaho loo Net” Ucap Gilang geli.
Neta
namanya. Ia nyengir merasa kalah. “maksud abang, kamu sudah selesai kuliah hari
ini Arini”
“oh
iya bang, udah, udah beres untuk hari ini”
“Enal
mana?” mas Ayaz celingak-celinguk.
“dia
lagi ngeladenin Ayun”
Ayaz
menatap Lyan dengan tatapan tak yakin. “Ayun? Ngapain?”
“Kritis
lah”
“gawat
berarti?”
Mereka
serentak mengangguk.
Aku
bingung. Siapa Ayun? Ada apa? Eh kenapa aku harus kepo, tak masuk akal. Santai aja Arini, relex.
“kayanya
kamu batal ke pameran deh Rin” Ayaz menatap ku dengan tatapan setengah
khawatir.
“heh?”
aku mencoba mencerna sebentar “oh iya, berangkat sendiri juga bisa”
“abang
anterin?”
“gak
ah, sendiri juga bisa”
“sama
abang aja Rin” Tawar Neta
“jangan
mau Rin, mending sama abang” Sahut yang lain bergantian. Aku cukup terhibur
dengan aksi menggelikan mereka yang seolah memperebutkan posisi untuk
menemaniku.
“makasih
abang-abang, Arini bisa sendiri ko”
“yaaaaaaaah”
sahut mereka serentak.
Aku
tertawa.
-
Akhirnya
aku berangkat sendirian ke Universitas Muhamadiah Malang (UMM), tempat dimana
pameran buku tahunan diadakan, hari kedua pameran buku kali ini cukup ramai,
antusias mahasiswa terhadap buku-buku karya anak bangsa sangat luar biasa. Aku termasuk
dari mahasiswa-mahasiswa yang atunsias itu.
Aku
memasuki sebuah stand buku sastra. Aku melirik sebuah buku “Aku-Chairil Anwar”,
ini buku yang belum pernah aku baca, dan selama 14 tahun aku tertarik untuk
membaca, namun belum kesampaian. Perlahan ku raih buku itu. Kalian yang pada
masanya yaitu 2002 pernah menonton AADC, pasti kalian akan tau buku “aku” yang
ku maksud ini buku apa. Buku yang sangat ngehits.
“belum
baca Rin?”
Aku
menoleh, Enal sudah berdiri disamping kanan ku, tampilannya kali ini berbeda,
rambut gondrongnya dikuncir, kacamatanya digantung di kantong kemejanya.
Aku
menggeleng.
“ko
pergi duluan? Aku nyariin”
“katanya
lagi sibuk sama siapa tadi lupa namanya” lebih jelasnya aku pura-pura lupa.
“oh
Ayun” ucapnya datar. “gak setia”
“heh?”
“kamu,
gak setia, ninggalin aku, nyuri start
duluan” gerutunya.
Aku
ketawa. “maaf-maaf, tapi kan udah ketemu aku bang”
Enal
mengangguk. “udah baca buku itu?”
“belum,
14 tahun penasaran sama buku ini”
Enal
langsung melangkah menuju kasir, entah apa yang ia lakukan. Aku bingung, tak
lama ia kembali lagi mendekati.
“sudah
jadi hak milik kamu”
“heh?”
“buku
itu”
Aku
melongo.
“hadiah”
Aku
tersenyum. “makasih, harusnya aku pilih yang banyak tadi bukunya”
“mau
ngerampok?”
“hahaha
enggak-enggak”
Enal
ketawa, aku ketawa, kami ketawa.
Entah
sudah berapa jam kami memutari stand-stand pameran buku hari itu, dari siang
hingga sore, hampir lupa waktu, kami cukup terlena dengan pameran UMM kali ini,
sangat suka.
Kami
cukup banyak membawa pulang buku-buku yang siap kami jamah nanti dirumah. Enal membawa
pulang 5 buku dengan harga miring, sedangkan aku cuman 4 buku, satu buku berian
Enal, dan 3 buku aku beli sendiri.
Cukup
hari ini dengan pameran buku, Enal mengajakku icip-icip sebelum mengantarkan ku
pulang kerumah. Aku mengiyakan, karena lelah memutari stand-stand tadi membuat
tenaga ku cukup terkuras.
Enal
mengajakku icip-icip di warung pinggir sungai. Aku lupa apa nama sungainya,
hanya saja view sore itu membuat
warung pinggir jalan yang biasa ini berubah saja sangat mellow dan romantis. Kami
duduk lesehan dekat bibir sungai.
“pernah
kesini?”
Aku
menggeleng. “belum”
Enal
menjelaskan bahwa warung ini buka dari jam setengah 5 sore hingga 12 malam,
tergantung stok perang masih banyak atau enggak, biasanya kata Enal jam 10 aja
bisa sudah habis. Disini makanannya sederhana, cuman nasi goreng dan mie goreng
handmade, bukan instan, dua menu itu
aja yang dijual, cuman rasanya WAW nikmat banget, aku tidak berbohong, ini
sungguh. Minuman yang disajikan cuman kopi, teh dan air putih, bisa es atau
hangat. Harga juga gak bikin kantong jebol, makanya banyak mahasiswa kos-kosan yang
suka nangkring disini, hahaha.. Enal juga menjelaskan bahwa si bapa yang jualan
disini sudah buka usaha sejak 20 tahun lamanya, makanya bapanya sudah keliatan
tua, ya kisaran 50-60 taun umurnya, tapi masih gesit buat mengaduk-aduk nasi
dan mie goreng diwajan besar.
Aku
memesan mie goreng, sedangkan Enal nasi goreng, dan minumnya kami sama-sama
memesan teh es.
“ko
bisa kepikiran nyusul Arini bang?”
“aku
kan sudah janji mau ke pameran buku bareng kau, aku harus menepatinya”
“nyariin
berarti tadi?”
“enggak”
“ko
bisa?”
“abang
kau ngebbm aku, hehe”
Aku
mencibir, sepertinya reaksi ku seolah-olah aku mengharapkan untuk dicari-cari
keberadaan ya, ah lupakan.
“kenapa
Ayun gak diajak?”
“kau
kenal??”
Aku
menggeleng.
“males
ajak setan”
“hah?”
“kan
kata di AL-Qur’an, kalo dua orang sedang berduaan, orang ketiga adalah setan”
Sumpah,
aku ngakak sejadi-jadinya. Enal ikutan tertawa.
“abang
ih” gerutu ku sembari menahan tawa ku yang terlepas tak sengaja. “ngomongin
orang”
“lah
kamu kan duluan” belanya tak mau kalah.
“iya-iya
aku”
Pesanan
kami tak lama datang. Segera kami santap.
Ingin
sekali rasanya aku menanyakan tentang Ayun saat itu, hanya saja, aku takut
terkesan sangat kepo terhadap
hubungan pribadi Enal.
“kau”
“heh?”
“ada
yang ingin kau tanyakan?”
“heh?”
Enal
menatap ku, mata kami bertemu.
“apa?”
“oh
gak ada” ia kembali melanjutkan menyantap makanannya.
Aku
diam, sembari menghatur detak jantung ku yang tiba-tiba seolah terpacu kencang.
“kau
tak mau menyakan siapa Ayun?”
“eh
bang”
“Ayun
itu mantan ku”
Aku
diam sesaat. “cieee punya mantan”
Enal
tersenyum kecil, seolah mengerti apa maksud dari kata “cie” yang ku ucap.
“dia
menyebalkan”
“kenapa?”
“pengacau”
“pengacau?”
“pengacau
rencana ku mau ke kamu”
“heh?”
“tadi”
Aku
mengangguk. “tapi kan kita sekarang sudah kepameran bang”
“iya,
hanya saja aku merasa tidak enak, berangkat tak bersama-sama tadi”
Aku
tersenyum
“kau
jangan seperti dia ya”
“heh?”
Entah
sudah berapa kali aku mengucap kata “heh?” yang menggambarkan betapa bodoh dan
bingungnya aku menanggapi perbicaraan kami kali ini.
“jangan
datang dan pergi sesuka hati” enal mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum,
entah senyumnya malam itu bercampur gula teh es yang kami minum atau apalah,
aku memandangnya tak kuasa, sangat menyejukkan.
Aku
mengangguk pelan. “ya”
Aaah…
suasana pinggir sungai kali ini sangat sejuk.
(bersambung)