Selasa, 17 Mei 2016

Dia aku (chapter 1)



Dia aku


 (chapter 1)       
 “Ariniiiiii”
        Ketika nama itu berkumandang masuk kesela-sela telinga ku, aku akan menoleh. Jelas, itu adalah nama panggilanku.
        Perkenalkan, aku Arini Aquilaria Prakoso, anak kedua dari dua bersaudara hasil persilangan antara Ayah gagah yang bernama Bagas Wana Prakoso dan bunda cantik yang bernama Ayunda Fatimah. Kedua orang tuaku adalah orang pribumi asli, kelahiran Bandung, di Negeri Indonesia tentunya. Ayah ku adalah seorang Pegawai Negri Sipil (PNS), pegawai yang sangat tekun, sejak ayah lulus dari bangku kuliah D3 hingga S2nya ia sudah mendedikasikan hidupnya brgabung di Forest Ranger, hingga ayah lulus tes PNS dan sekarang ayah mendapat tanggung jawab besar terhadap pekerjaannya, dimana ayah sekarang menjadi Kepala Dinas Perum Perhutani KPH (kawasan pemangku hutan) Bandung Utara, itu yang kerjaannya ngurusin hutan-hutan. Ayah memiliki seorang bidadari cantik, pendaping hidupnya, aku akan memperkenalkan siapa orang itu.
        Ia adalah bunda ku, seoarang perempuan cantik dan ayu, sesuai namanya Ayunda Fatimah, bunda dulunya adalah teman sekampus ayah, mereka bertemu dan menjalin kasih sejak dibangku kuliah, waktu di UGM, Fakultas Kehutanan, angkatan 84. Bunda hanya seorang ibu rumah tangga, ia mendedikasikan hidupnya untuk keluarga kecilnya, merelakan gelar D3nya untuk aku, Mas ayaz dan ayah, karena bunda selalu berkata “bunda adalah madrasah dan rumah bagi kalian” Bunda adalah wanita hebat, ia memilih tak mengejar cita-citanya setelah melahirkan mas Ayaz. Ia adalah perempuan yang selalu ada untuk kami semua. Bunda tak serta merta berdiam diri di rumah kalau kami semua sibuk dengan pekerjaan dan sekolah, bunda punya hobi yaitu melukis, walaupun bunda melepaskan cita-citanya sebagai pelukis, ayah jelas tak mau membiarkan kesepian melanda bunda, ia membelikan bunda satu set alat lukis yang diletakkan di taman belakang, tempat dimana bunda menghabiskan waktunya selama kami semua tak ada dirumah.
        Dan anggota keluarga ku yang terakhir adalah mas Ayaz, itu nama panggilan sayang kami, nama asli mas Ayaz adalah Alstonia Zuwardi Prakoso, dan dipanggil Ayaz, entah kenapa, akupun kurang mengerti kenapa, mungkin hanya Ayah dan Bunda yang mengerti alasannya kenapa. Mas Ayaz adalah mahasiswa UB (Universitas Brawijaya) Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Hubungan Internasional, semester 6, angkatan 2004. Mas Ayaz dengan ku hanya berbeda hampir 3 tahun, kebanyakan orang mengatakan wajah kami mirip, kayak istilah bagai pinang dibelah dua, entah dari mana miripnya, aku rasa tidak, karena perangai Mas Ayaz jauh berbeda denganku, ia sama seperti anak laki-laki lainnya, kamarnya selalu berantakan. Tapi kalau aku jalan bareng Mas Ayaz, gak malu lah, orangnya ganteng, banyak dikecengin cewek-cewek kalau suka jalan di mall. Kalau kalian bisa membayangkan, Mas Ayaz memiliki tinggi badan 181cm, dengan berat badan 60Kg, kulitnya putih, rambutnya sekarang rada gondrong kayak Adipati Dolken, hidungnya mancung, matanya sipit, bibirnya rada pink tipis, jelas, ia anti merokok, ah kalau zaman sekarang, Mas Ayaz bisa dikatakan kayak artis korea. Kadang membuat ku bangga memiliki kaka seperti mas Ayaz.
        Kalian ingin tahu aku? hmm, aku akan sedikit menceritakan siapa aku. aku lahir pada tahun 1989, tepatnya tanggal 8 Februari, benar sekali, bertepatan dengan hari raya imlek. Terkadang banyak yang mengatai ku dengan sebutan “Arini anak china” itu karena mata ku yang sipit, persis kayak orang china.
        Oh iya, aku sekarang tidak lagi tinggal di Bandung, seminggu yang lalu, kami sekeluarga pindah ke Malang, karena ayah pindah tugas, dari Bandung ke kantor Perhutani KPH Malang tepatnya di kota Batu, Kabupaten Pasuruan. Dengan pertimbangan yang cukup matang, aku merelakan rencana besar ku bersama Tia dan Andini, teman satu sekolah ku sejak SMP hingga SMA, kami mempunyai rencana, yaitu mausk Universitas Padjajaran (UNPAD), universitas bergengsi di kota Bandung, banyak siswa-siswi d isekolah ku yang berlomba masuk ke UNPAD, aku memilih Fakultas Psikologi, Tia memilih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, jurusan Hubungan internasional, sedangkan Andini memilih Fakultas Kedokteran. Namun, rencana yang kami susun bertiga kemaren-kemaren terpaksa aku batalkan, karena aku dan keluarga harus pindah ke Malang, ditambah suatu kebetulan yang luar biasa, aku mendapatkan beasiswa penuh, untuk kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Hubungan Internasional, adik tingkat mas Ayaz.
        Aku adalah anak perempuan yang sedang beranjak menjadi mahasiswi kampus terkenal nan bergengsi di Indonesia, khususnya Malang. Fostur tubuh ku bisa kalian bayangkan saja ya, dengan tinggi 169cm, berat badan 50kg, kulit ku putih, hidungku mancung, mataku sipit, bibir ku pink mungil, daguku lancip dengan lesung pipi disebelah kanan, rambutku hitam pekat, panjang melebihi bahu, aku suka menguncirnya, karena terurai terasa panas. Nah, bisa kalian bayangkan? itulah aku.
***

1. Si Kaca Mata Hitam

        “Ariniiiii”
        Aku yang sejak tadi sibuk dengan smartphone hitam bermerek Blackberry itu, segera terbangun, menoleh kesumber suara, seorang laki-laki berdiri tak jauh dari posisi ku, jarak kami tak cukup dekat, menyisakan 2 meter. Aku menatapnya bingung, tak kenal pikirku.
        “iya?”
        “adiknya Ayaz?”
        Aku mengangguk. Ah mungkin teman mas.
        “tadi disuruh Ayaz jemput kamu?”
        “jemput?” ia mengangguk “ke?”
        “ke sekre, soalnya ponsel Ayaz mati, dia lupa sama no hape kamu”
        “aah, kebiasaan” cibir ku kesal sambil menyimpan smarthphone ke kantong celana jeans hitam ku. “sekrenya dimana bang?”
        “deket ko”
        Ingat, ia menyebutkan kata “dekat”, seandainya kalian ikut jalan kaki bersama ku, kalian akan tahu arti dari kata “dekat” yang abang satu ini sebutkan. Pegal rasanya kaki ku saat menyelusuri jalan menuju sekretariat Pers kampus, lokasinya lumayan jauh, lumayan membuat keringat ngocor. Aku dan abang itu berjalan tak beriringan, ia berjalan didepanku dan aku dibelakangnya. Entah kenapa mata ku focus ke fostur tubuh abang satu ini, gilaa, atletis, pundaknya kekar, badannya tegap, dan jangan ditanya tingginya, 180cm ku taksir, soal wajah, hemmm.. aku menyukai senyumnya.
        “Rin” ia berhenti, akupun berhenti.
        “heh?” dengan nada setengah terputus, lelah bang.
        “capek?”
        Aku menggeleng mencoba kuat, tapi matanya menatapi wajahku, segera ku seka keringat yang mengalir. “cuman keringatan, harinya panas, hee”
        “masih kuat kan?” aku mengangguk. “udah dekat, itu sekrenya” ia menunjuk sebuah bangunan yang didepannya ada papan yang bertuliskan “Sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa Fisip”, dan ku baca ada salah satu nama “Sekretariat Pers Merah Putih” didekat papan nama itu.
        “ayo bang”
        Kami kembali berjalan. Tak masalah, hanya 50 meter lagi kami untuk sampai kedalam sekretariat pers.
-
        “Yaz, adek lo” teriak seseorang ketika melihat kami muncul dari balik pintu.
        Aku kikuk. Abang itu lebih dulu masuk kedalam, ia mempersilahkan aku masuk dan duduk disofa ruang tamu sekre. Aku akan menilai ruangan tamu sekre pers ini, luar biasa, retro banget dan satu hal yang aku kagum, sangat bersih dan nyaman.
        “minum?” ia menawari ku sebotol aqua dingin.
        Aku menyambut. “makasih” segera ku santap air mineral, aku sangat haus, perjalanan yang lumayan jauh menuju sekre ini, sangat membuat rasa haus ku meningkat.
        Tak lama mas Ayaz datang, dan duduk disampingku. “mas lupa sama no hape kamu”
        “kapan coba ingatnya”
        “maaf ya”
        “hmmm” sahutku dengan nada males.
        Salah satu hal yang sulit bagi mas Ayaz adalah mengingat no ponsel ku. Padahal jelas aku tak pernah mengubah no ponsel ku sejak pertama kali aku menggunakan ponsel, yaitu SMP kelas 3.
        “untung ada Lyan” ia tersenyum melihat aku menatapnya. “kebetulan juga dia mau kedepan, sekalian deh nitip kamu” jelas Ayaz tak sepenuhnya aku dengar.
        “oh bang Lyan namanya” ucap ku pelan setengah berbisik.
        “hah? Dari tadi belum kenalan?” mas Ayaz menatap ku. Aku mengangguk.
        “kan lo cuman nyuruh gua jemput adek lo, gak nyuruh kenalan kan” sahut Lyan
        Aku tersenyum kecil sembari menatap wajah Ayaz. “bener kan”
        “aaah, bener juga sih” sahut mas Ayaz mengiyakan. “sekalian menyelam minum aer kek” tambahnya.
        Abang itu hanya tersenyum manisnya. Aku suka.
        “tujuh belas agustus, tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita, hari merdekaa, nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesiaaa, merdeeeeekaaaaaa” seseorang dengan suara laki-lakinya yang lantang, sedang menyanyikan lagu kemerdekaan Indonesia, dinyanyikannya dengan nada tinggi dan volume keras, mungkin dengan suaranya itu dapat membangunkan seisi gedung sekre ini.
        “orang gelo akhirnya datang” ucap seorang perempuan yang sejak tadi berdiri didepan papan pengumuman sekre. Ia tatap pintu masuk, menunggu seseorang muncul.
        “belum tujuh belasan woooooooy!!” teriak seseorang dari ruangan dalam.
        Aku kaget, suara gelak tawa mengisi ruangan sekre. Tak lama si pedendang lagu yang tak nampak wajahnya, akhirnya muncul dari balik pintu, semua memandangnya, akupun begitu.
        Ia mengenakan kaca mata bulat hitam dengan frame warna emas, baju kaos oblong berwarna hitam, celana jeans hitam lusuh yang dilututnya terdapat robekkan-robekkan kecil yang entah disengaja atau tidak, dan dilengkapi tas selempang hitam yang penuh acecoris gantungan dari tali prusik.
        “Assalammu’alaikum pa jiii.. bu jiiii” sapanya sembari melepas kacamata, diletakkannya diatas kepala dan wajahnya kini nampak jelas terlihat.
        “gak ada uang receh Nal” sahut mas Ayaz.
        Wajahnya berubah kecewa. “ceban deh”
        “anjiiir” sahut mas Ayaz sambil melempar kemejanya kewajah anak itu.
        Ia hanya tertawa sambil menjauhkan kemeja mas Ayaz dari wajahnya, ia lempar lagi ke mas Ayaz. “eh” ia diam sesaat, matanya mengarahku, sebentar mata kami bertemu, lalu ku alihkan. “Ayaz versi cewe”
        “sembarangan” sahut Ayaz.
        Ia duduk disamping Lyan, matanya masih mengarah kearah ku, seolah tak mau pergi. Dan sumpah, aku bingung saat itu.
        “junior kita kan?”
        Aku mengangguk.
        “tau siapa aku?”
        Aku menggeleng.
        gaess, ada yang sok ngartis nih” sindir anak perempuan tadi sambil berlalu masuk kedalam ruang tengah seolah memberikan informasi penting kedalam ruangan.
        “aku yakin sebentar lagi kamu akan tau”
        Dan tak lama kemudian.
        “Enaaal, artikelnya udah belum” seorang perempuan dengan kacamata tebal minus bulat, ditambah wajah betek, keluar dari balik ruangan tengah, ia mendekati Enal. “lama betul” gerutunya.
        Lyan, mas Ayaz dan anak laki-laki itu tertawa, akupun ikutan tertawa. Seperti peramal bisikku.
        Ia menatapkku. “tahu kan?”
        Aku mengangguk. “iya”
        “mungkin kita akan sering bertemu” ia tersenyum sambil memainkan keninngnya, lalu berlalu masuk kedalam ruang utama bersama anak perempuan tadi.
        Aku tak memberi respon apa-apa tentang tingkah laki-laki yang ku ketahui namanya adalah Enal.
**
        “Rin, gak ikut UKM?”
        Dia adalah Hanun, teman perempuan pertama yang ku ajak berkenalaan saat pertama OSpek. Hanya berawal dari kata “hai” dengan suasana kikuk saat itu, dan kini berubah menjadi ratusan kalimat atau malah jutaan cerita yang kami lontarkan saat berdua.
        “bingung, padahal ikut UKM adalah syarat wajib buat beasiswa gua” aku mengepak buku kedalam tas.
        “kenapa gak ikut ukm abang lo”
        “hah? PMP?” Hanun mengangguk. Kami berdua mulai melangkah keluar kelas. “gak ah, malu sama teman-teman mas”
        “padahal kan asik, ada abang, dijagain pasti”
        “gak ah gak ah.. yang lain aja”
        “apaan?”
        Aku melirik kearah aula yang terbuka. Hanun mengikuti arah matakku.       
        “teater Rin?”
        “mau”
        “daftar aja”
        “entar deh”
        Kami pun berlalu pergi menuju kantin kampus yang luasnya cukup menampung sepertiga mahasiswa Fisip UB. Makanan yang paling hits disini adalah baksonya mang Dadang, satu-satunya bakso yang dijual di kantin Fisip UB, makanya paling laris, ditambah senyum menawan mang Dadang kalo lagi meladeni pelanggan, beeeh.. garasinya kebuka, eh ampun maaang, hehe..
        “majalah PMPnya dek?” seorang mahasiswa menawarkan ke Hanun.
        Hanun mengangguk. “boleh bang, satu” ia mengeluarkan uang lima ribuan.
        “makasih”
        Transaksi jual beli terjadi begitu saja. Seperti biasa, setiap hari senin dalam dua minggu sekalii, PMP menerbitkan bulletin harian dengan 8 halaman, isinya kadang membuat aku kagum saat membaca. Mereka yang tergabung di PMP bukan orang sembarangan, mereka kritis dan punya wawasan luas, sangat cepat tanggap akan suatu kejadian, sangat peka terhadap lingkungan sekitar.
        “apa kabar analog?”
        Aku langsung tertarik saat Hanun membacakan thema bulletin PMP kali ini. Kalian yang lahir sebelum tahun 2000 pasti mengenal apa itu analog. Sebelum kita mengenal digithal, analog adalah sahabat setia anak-anak remaja masa itu.
        “wah, generasi 90-an nih”
        Hanun mengangguk. “kayaknya asik” ia membaca halaman depan. “ih sumpah, punya abang gue mereknya motorola” ia menunjuk sebuah gambar animasi pager.
        “aaaah, mini tendoo”
        “ini-ini.. sailermoon, aaa sensaiya”
        “aaaa…”
        Aku dan Hanun seperti flashback kezaman 90-an ketika membaca bulletin PMP ini. Rasanya membara-bara, dan bersemangat.
        leader team creative thema kali ini siapa Nun?” aku meminta Hanun membaca kehalaman terakhir.
        Segera Hanun membolak-balik bulletin kehalaman terakhir, dan dibacanya dengan seksama. “Lee Hae Nal”
        “Lee Hae Nal?”
        Hanun mengangguk yakin, ia menatappku. “kenapa?”
        “kayak pernah dengar nama itu”
        “jelas laaaah, ini abang Enal, semester 8, angkatan sama abang lo, itu yang suka pakai kacamata hitam bulat ke kampus, terus rambutnya gondrong” Hanun menjelaskan.
        Aaaaaa.. aku ingiat. Benar.. benar.. dia si abang Enal, yang kata mas Ayaz, orangnya rada-rada gimana gitu.
        “oh iya, dia” ucap ku datar.
        “selengean tapi kalo bikin artikel, granat banget”
        Granat adalah kata yang dipakai Hanun untuk mengartikan dari kata lain “luar biasa, hebat”, dan ini cuman Hanun yang menggunakan.
 -
        Selesai menyantap makanan di kantin, aku dan Hanun beranjak pergi, niat kami ingin duduk santai di taman kampus. Taman kampus kami cukup nyaman, dengan rumput hijau, pepohonan yang rindang, cocok buat mahasiswa-mahasiswi nongkrong, atau hanya sekedar duduk santai.
        Disana ada kelompok mas Ayaz, lengkap dengan Lyan dan Enal, sepertinya dengan anggota PMP lainnya.
        “hay Ariniiii”
        Aku menatap seseorang yang melambaikan tangannya kearah ku, ah Enal. Ku anggukan kepala, memberi isarat bahwa aku melihatnya.
        “kenal dekat Rin?”
        Aku menggeleng. “kan temen mas Ayaz”
        “oh”
        Kami pun berlalu, memilih tak bergabung dengan anak-anak PMP, karena akan sangat terasa asing dan tidak sopan jika kami asal nimbrung dikelompok mereka, walaupun sebenarnya ada mas Ayaz juga disitu, cuman aku bukan tipe SKSD (sok kenal sok dekat).
        “Arini” aku menoleh lagi, melihat sekelompok anak PMP itu berdiri, dan beranjak pergi, Enal yang memanggil. “duluan”
        “iya bang” jawab ku sembari melihat mereka pergi dari taman.
        “kayak kenal banget ya”
        Aku cuman bisa mengangkat kedua pundak ku, karena aku tak punya jawaban yang tepat untuk menjawab kalimat Hanun.
***
        Jam 08.15, dosen tak kunjung datang. Sebagian mahasiswa kebingungan, karena tak biasanya dosen terlambat lebih dari lima menit. Banyak yang tak peduli, banyak pula yang sibuk mencoba mencari tau ke bagian akademik.
        “semoga dosennya gak ada” Hanun berdoa.
        “amin” sahut ku.
        Kami tertawa.
        Annyeong haseooooo” Ucapnya dengan lantang dan keras, mengguncang seisi kelas.
        Kami diam, si penyuka kacamata hitam bulat berframe emas itu dengan santainya masuk kedalam ruangan. Ia membawa beberapa buku ditangannya. Langkahnya berhenti tepat didekat podium, tempat biasa dosen meletakkan alat-alat perangnya saat perkuliahan.
        Ia melepaskan kacamatanya, ditarohnya diatas kepala. Semua mata menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung, termasuk aku dan Hanun.
        “ngapain abang Enal disini?”
        Aku menggeleng.
        Annyeong haseyo itu artinya hallo, jadi kalian harus menjawab???”
        anyyeong haseyoo” Jawab sebagian mahasiswa dengan gagap, karena ini bahasa baru ditelinga kami.
        Enal tersenyum. “kalian tau kenapa saya ada disini?”
        “gaaaaak” jawab kami serentak.
        “Bapa Yudi sedang diluar negeri, jadi,untuk kali ini, kalian akan saya temani”
        Entah kenapa, suara tepuk tangan segera mengisi ruangan kelas ini. Aku dan Hanun tambah bingung.
        “asisten dosen kayaknya Rin”
        Aku mengangguk.
        “hari ini kita akan membahas tentang, ada yang tau?” Kami serentak menggeleng. “tentang bagaimana kalian menanggap apa saja yang berkaitan dengan hubungan internasional”
        Satu jam lebih empat puluh menit tak terasa berlalu. Kali ini sebagian mahasiswi-mahasiswa keluar kelas dengan wajah sumringah, tidak seperti biasanya. Karena mata kuliah pa Yudi termasuk mata kuliah yang sangat membosankan, akan tetapi hari ini, berbeda, kami menikmatinya.
        “Arini”
        Aku terhenti, “iya bang?”
        “ketemu lagi”
        Aku tesrsenyum. “kuliahnya keren” entah kenapa aku mengatakan ini, spontan.
        “ah, makasih, jangan kagum ya”
        “gak boleh emangnya bang?”
        “Susah”
        “susah?”
        “susah kalo sudah dikagumin sama kamu”
        “ih ngelantur”
        “beneran, nanti mas Ayaz cemburu sama aku, adeknya kagum sama orang lain ketimbang abangnya”
        Aku ketawa. Enal ketawa.
        “iya deh bang, duluan ya” Enal mengangguk. Akupun berlalu pergi keluar kelas, meninggalkan Enal yang masih sibuk merapikan sesuatu.
-
        “Arin”
        Aku menoleh. Ia tersenyum sambil melangkahkan kakinya, berdiri sejajar denganku, seperti biasa kacamata hitam bulat dengan frame kuning emasnya itu tak pernah ketinggalan menghiasi wajahnya.
        “nunggu Ayaz pasti”
        Aku mengangguk.
        “dia lagi nemuin dosen”
        “lama?”
        “kayaknya bakalan sampai sore”
        “yaah, lama banget” aku kaget, karna perlu berjam-jam menuju sore.
        “ikut aku aja”
        Aku menoleh, diam.
        “kalo gak mau gak apa-apa, cuman nunggu sampai sore”
        Aku diam, masih berpikir.
        “serius nih”
        Aku masih diam dan masih berpikir.
        “lama ey mikirnya”
        “ikut” entah kenapa aku mengucapkan kalimat ini.
        “tunggu didepan, aku ambil sepeda dulu”
        Aku kaget. Ia sudah berlari pergi meninggalkan ku. Sepeda? Pulang dengan sepeda? Sepanjang jalan menuju gerbang depan, pikiran ku dipenuhi imajinasi aneh, apa nanti aku harus duduk didepan, dan ia menginjak pedal sepedanya sampai rumah? Rumah aku jauh dari kampus, emang kuat? Aaah, mending naik angkot kali ya.
        Tak lama Enal datang, yang tadinya hatiku gundah, kini aku bisa tersenyum kecil.
        “ojek neng?” ia nyengir kuda.
        Melihat Enal datang, akhirnya aku dapat menghela nafas legah, segera ku duduk manis dibelakang tubuh Enal. Ternyata memang sepeda, hanya saja sepedanya pakai mesin. Honda CB keluaran tahun 97 yang dimodifnya dengan mulus, sangat clasik dan mewah.
        “udah makan?”
        “belum”
        “mau icip-icip dulu?”
        “kemana?”
        “ada deh”
        “terserah deh”
        “ah dasar perempuan” gerutunya membuat ku sedikit tertsenyum.
        Kurang lebih dari 10 menit, kami berhenti disebuah warung makan. Didepan warung makan itu tertulis “warung makan joss!” dengan emoticon jempol. Aku melihat Enal yang melepaskan helm bogo hitam dan kacamatanya, ia menatap spion kanan kendaraan, membenahi rambut gondrongnya yang berantakkan. Ia menoleh kearahku, seakan sadar kalau ia sedang jadi pusat perhatian ku.
        “mau ngaca juga? Disitu ada satu” ia menunjuk kaca spion kiri. Aku menggeleng dengan senyum tipis. “kita icip-icip rawon disini, enak loh”
        Rawon? Mendengar nama makanan satu itu, sumpah aku senang. Berhubung aku sedang dengan Enal, ku tahan kegiranganku, berusaha sewajarnya.
        “oh iya”
        “masuk yuk?” aku mengangguk mengikuti langkah kaki Enal.
        “Siang mas Enal” sapa beberapa pelayan disitu.
        Enal menyahut sapaan mereka dengan berbagai candaan yang membuat para pelayaan tertawa.
        “sama siapa mas? Pacar?” ia melirik aku yang berada disamping Enal.
        “aah, calon” singkat Enal menjawab, membuat aku kaget.
        “calon opo toh mas? Istri?”
        “calon bidadari surge, ehehehe”
        “alah mas ini, becanda mulu”
        “serius akunya” wajah Enal berubah jadi serius, lalu tertawa lagi bersama si pelayan warung makan. “kita pesan rawon dua, minumnya tanya bidadari aja, biar kamunya kebagian bisa ngomong sama bidadari” ia menepuk pundak si pelayan, lalu berjalan meninggalkan ku menuju meja.
        Aku menggeleng-geleng.
        “mba, maklumin aja mas Enal, emang gitu” ucap si mas pelayan membangunkan ku, ku tatap ia dengan tersenyum. “minumnya apa mba?”
        “teh es dua deh”
        “oke mba, silahkan duduk”
        Aku mengangguk dan berlalu pergi menuju Enal. Kami duduk besebrangan. Entah kenapa kali ini aku tidak bisa menatap dengan benar Enal yang posisinya dihadapanku. Terkadang aku memlihi melihat ke kanan dan ke kiri dari posisi ku duduk, merasa sedikit kikuk.
        “Rin, gak ikut UKM?”
        Akhirnya kami berbicara. “emm belum”
        “kenapa? Gak ada yang srek?”
        Aku menggeleng. “cuman lagi bingung milih”
        “coba deh tanya kenapa aku masuk PMP”
        “oke, aku tanya, kenapa”
        “astaga, to do point banget” Enal menggerutu.
        “kan disuruh nanya”
        Enal mendesah. “gara-gara tertarik sama senior yang namanya Uman”
        “hah?!” aku kaget. Uman adalah senior angkatan 2002, yang masih aktif di PMP, dan namanya sering disebutkan beberapa dosen saat mengajar, karena kiprahnya yang luar biasa.
        “pikirannya jangan kemana-mana Rin” Enal tertawa melihat exspresi kaget ku. “tertarik gara-gara kiprahnya didunia pers yang luar biasa”
        Aku menghela nafas lega. Sebenarnya kalaupun dia tertarik gara-gara dia “gay” aku tak peduli, haha.. hanya saja aku akan tetap terkejut.
        “ku kira gay” ucap ku pelan.
        Enal tertawa keras. Aku ikutan tertawa.
        “kalau aku gay, aku juga bakal milih pasangan gay ku yang seperti apa, masa Uman”
        Kali ini aku tertawa lepas. “ngomongin orang”
        “kamunya sih”
        “maaf-maaf, lanjut bang”
        “kalo kamu baca artikel-artikel sama tulisan-tulisan buatan dia, kamu pasti nemu satu sesuatu, dia fokus dan konsisten”
        Aku mencoba memahami.
        “ditambah dia kritis, tidak takut dalam mengungkapkan sesuatu dalam tulisannya, ditambah sangat akurat dan jujur, tidak dilebih-lebihkan. Kamu tau” aku mulai tertarik dengan pembicaraan Enal siang ini. “berita dan artikel zaman sekarang, banyak yang terlalu lebay dan melebih-lebihkan” aku mengangguk, karena sangat setuju sekali.
        “kamu pernah liat ibu-ibu atau bapa-bapa marah pas nonton atau baca berita kematian seorang anak yang dibunuh temannya?” aku mengangguk lagi. Ini berita paling ngehits pekan ini “pasti mereka mengutuk habis-habisan sipembunuh” aku mengangguk lagi “sebenarnya, kalau kita liat apa alasan si anak membunuh temannya, kita bisa mengubah pola pikir mereka, kita tidak harus memberi judul: anak perempuan SMA malang dibunuh oleh temannya sendiri. Tunggu, emang benar mereka temanan? Coba tanya sama anak sekelasnya, gak lah, siapa tau si pembunuh dendam, loh dendam kenapa? Dendam karena selalu di bully, naaaah.. seandainya berita pembunuhan ditulis dengan kata-kata lain seperti: setiap pembullyan, menyisakan dendam. Ditulisannya difocuskan tentang pembullyan yang mengubah seorang korban bullying membalas dendam dengan cara yang salah.” Ia menatap mata ku. “kamu bisa ambil kesimpulan dari yang aku omongin Rin?”
        Aku mengangguk. “seharusnya semua penulis atau reporter itu jujur, karena setiap yang kita tulis dapat memberikan dampak yang luar biasa terhadap masyarakat luas, seandainya point utamanya bukan hanya tertuju pada si pelaku, tapi juga pada sebab yang ditimbulkan korban hingga membuat si pelaku berlaku seperti itu, karena masyarakat selalu mudah percaya dengan tulisan dan berita yang ditayangkan, mudah terpengerahu”
        Enal langsung menjentikan jarinya. “naaaaah, itu dia, bener banget Rin. Setiap kata dan kalimat yang ada di artikel dan berita, dapat mengubah opini satu bahkan seluruh masyarakat, si pelaku mungkin sekarang setresnya bukan main, sudah dapat hukuman pidana, malah dapat hukuman sosial”
        Kali ini siangku sangat istemewa, pembicaraan berat namun dengan suasana ringan dan santai itu sangat membuat ku merasa terbuka, aku sangat senang sekali.
        “masuk PMP deh”
        “Ah gak ah”
        “kan ada mas Ayaz”
        “karena ada mas Ayaz, akunya gak mau”
        “syukur deh”
        “ko syukur?”
        “dikira gak mau gara-gara ada aku” ia tersenyum dengan lebarnya menatapku.
        Aku hanya bisa tersenyum membalas guyonannya siang itu.
-
        Tepat jam 14.32, aku dan Enal sudah tiba didepan rumah. Aku berdiri didekatnya, didepan pagar, ia melepas kaca matanya.
        “bayar”
        “hah?”
        “bayar ongkos ojek sama makan rawon plus teh es”
        Segera ku buka tas ransel ku, mencari dompet. Ia tertawa.
        “gak pakai uang”
        Aku terhenti membuka dompet, menatapnya bingung. “terus apaan bang?”
        “pokoknya jangan pakai uang” ia kembali mengenakan kacamata hitamnya “abang balik dulu, assalammu’alaikum”
        “waaa’alaikumsalam” ucap ku dengan nada gagap, bingung dengan suasana saat itu.
        Hah.. jangan pakai uang? Terus apa? Sepanjang langkah ku menuju kamar, yang ku pikirkan hanya itu. Entah kenapa jadi terpikir, biasanya aku tak akan peduli. Tapi siang hari ini cukup menarik.
***
2. Permen Karet
        “woaaah, idola kampus minggu ini abang Enal” Hanun mendekati ku, ia segera duduk disamping kananku sambil meletakkannya bulletin mingguan PMP diatas meja makan kami. Ku lirik.
        Foto Enal dengan ciri khas stylenya, kacamata hitam, baju kaos oblong hitam, kemeja flannel kotak-kotak, celana hitam yang robek dilutut, sepatu khat converst, ditambah rambut gondrongnya berpose gagah diatas kendaraan Honda Cbnya, aku yang melihatpun kaget, sumpah gagah.
        “fotonya bagus” ucapku seadanya.
        “bagus banget, bisa jadi model majalah padahal kan Rin?”
        Aku mengangguk, lalu ku alihkan pandanganku kemangkok bakso yang sisa setengah, aku kembali fokus menyantapnya.
        omo.. omoo.. (*astaga) abang Enal ini blesteran korea-indonesia, ih manteb” aku tak menghiraukan Hanun yang asik berbicara sendiri karena kagum. “cita-citanya keren bang, jadi reporter internasional, manteb, Hanun dukung” ku lirik Hanung yang sangat exited sendiri membaca artikel tentang Enal pagi itu.
-
        Setelah sepekan galau tentang UKM, akhirnya aku memutuskan untuk ikut UKM Teater, folmulir pendaftaran sudah ku serahkan ke panitia, dan hari ini, adalah hari perekrutan, dimana calon-calon anggota barunya akan di audisi di aula kampus. Jumlah yang akan diaudisi cukup banyak, sekitar 75 orang, karena banyaknya yang mendaftar, maka audisi dibagi menjadi dua hari, dan aku masuk dihari pertama, di line dua, yang ku tau sang pengaudisi adalah abang Reza, semesternya sama mas Ayaz dan Bang Enal.
-
        “semangat Rin” Hanun menepuk pundakku.
        Aku menganggup, lumayan gugup rasanya.
        “Rin”
        Aku dan Hanun menoleh, mas Ayaz dan beberapa anak-anak pers datang mendekati ku. Mereka terseyum melihat kearah kami, kami pun tersenyum, aku seadanya, maklum gugup.
        “urutan keberapa?”
        “27”
        “semangat, gugup boleh, tapi jangan kacau” aku mengangguk mendengar pesan singkat Ayaz.
        “Reza kan yang ngeaudisi?” Aku mengangguk. “harus total, Reza orangnya detile Rin” mendengar kata-kata Lyan, jantung ku rasanya semkain kencang berdetak.
        Aku cuman bisa membalas dengan senyuman kecut kemereka.
        Setelah berbincang sebentar, mereka pun pergi, ucapan semangat mereka cukup membantu, setidaknya mengurangi rasa sedikit gugup. Satu persatu calon-calon itu masuk, setelah mereka yang masuk, giliran ku.
        “Arin”
        Aku menoleh. Enal berlari menghampiri ku.
        “bang?”
        Beberapa anak yang berbaris dibelakang ku, terlihat saling berbisik melihat kearahh kami berdua, mungkin mereka bingung, sejak tadi beberapa senior menghampiri ku, ditambah si senior ngehits satu ini datang.
        “nih” ia meletakkan beberapa permen karet digenggaman tangan kanan ku. “makan kalau gugup”
        “tapikan aku mau audisi”
        “ah makan aja”
        “heh?”
        “semangat ya, daaah” ia berlalu pergi.
        Aku memandangi permen karet, entah kenapa, aku mengikuti instruksi Enal, mengunyah permen karet selama waktu menunggu.
**
        “Heii!”
        Aku kaget mendengar seseorang berteriak kencang. Kesal rasanya dibuat kaget, ku toleh kebelakang. Enal berlari mendekati ku.
        “gimana? Lancar?”
        Aku memasang exspresi datar. “hemmm”
        Waeyo? Gwenchana?” mendengar kalimat itu aku tersenyum kecil mendengar, ia mengucapkan bahasa aslinya, korea. “Paliii
        “pakai bahasa Indonesia bang, gak ngerti akunya”
        “astaga, maaf – maaf”
        “lancar ko, pengumumannya besok”
        Enal menghembuskan nafas setengah legah. “aku kira hari ini” ia kembali berlalu pergi dengan wajah datarnya.
        Aku kaget melihat ia pergi. Mata ku menatapi punggungnya yang pergi dari mata ku.
        “dasar aneh” gerutu ku setengah kesal.
-
        Malam. Gelak tawa khas anak-anak laki terdengar kencang hingga kedalam kamar ku yang pintunya terbuka sedikit, perlahan ku dekati pintu kamar, ku lirik keluar kamar, tepat dikamar mas Ayaz terlihat beberapa anak laki-laki. Aah, paling teman-temannya sedang berkumpul, ini hal biasa, ku tutup kembali pintu rapat-rapat.
-
        “eh Arrin” sapa seseorang.
        Aku menoleh, Lyan dan Enal muncul, mereka masuk kedapur.
        “eh bang”
        “mau masak?”
        Aku menggeleng. “habis minum jus”
        Lyan mengangguk.
        “kita disuruh Ayaz ngerampok kulkas, boleh?”
        Aku tersenyum. “boleh, rampok aja, asal jangan sama kulkasnya ya”
        Enal tertawa, aku tertawa.
        “sikaaat Nal” ucap Lyan sembari membuka pintu kulkas.
        Mereka mendapati beberapa macam makanan dan minuman dingin yang cukup untuk mereka santap sepanjang malam.
        Setelah cukup dengan hasil rampokan Lyan pergi lebih dulu kekamar, menyisakan aku dan Enal didapur.
        “eh Rin”
        Langkah kakiku terhenti, ku toleh Enal yang kerepotan membawa tiga  minuman dingin ukuran 1,5L dan tiga macam snack didalam rengkulannya. Segera ku ambil alih tiga macam snack dari rengkulannya.
        “aku bawain deh”
        “makasih”
        Aku dan Enal melangkah menuju kamar mas Ayaz.
        “eh Rin”
        “hmmm?”
        “kemaren audisi nampilin peran apa?”
        “tebak deh”
        “antagonis pasti”
        “ko tau”
        “soalnya mukanya pas jadi antagonis”
        “ih asem” gerutu ku.
        Enal tertawa. “yakin lolos gak?”
        Aku menggeleng.
        “ko gitu?”
        “bang Rezanya gak ada komentar apa-apa pas aku tampil, dianya cuman diam, cuman bilang: silahkan, sudah? dan terimakasih, jadi bingung”
        Enal tertawa. “Reza emang gitu, makanya jomblo”
        Aku menoleh, tertawa. “kenapa gitu?”
        “dingin banget sih orangnya, dia tu ya, gak cocok sama kamu”
        “heh?”
        “dia dingin, kamunya jutek, entar anaknya jadi apa coba?”
        Aku tertawa. “jauh amat mikirnya”
        “aku kan paranormal” ia tertawa.
        “oh ya, kalo gitu ramalin aku bang, lolos apa gak?”
        “lolos” Jawab Enal cepat dan yakin.
        “aah, amin”
        “amiiin” sahutnya.
        Kami sampai tepat didepan pintu kamar mas Ayaz, ia menyuruhku kembali meletakkan snack didalam rengkulannya.
        “ingat ya Rin, aku paranormal”
        “iya-iya”
        “masuk dulu ya, anak perempuan dibawah umur gak boleh ngintip, nanti shock” aku tertawa, Enal tertawa.
        Ia pun masuk kedalam, aku kembali kedalam kamar.
***
        “Ariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin”
        Pagi-pagi suara Hanun sudah mengguncang kampus, ia berlari dari ujung lorong hingga mendekati ku. Dengan nafas terengah-engah ia menghampiri.
        “atur nafas dulu Nun”
        “huuu haaa huuu haaa” Hanun mencoba mengatur nafasnya. “Rin”
        “heh?”
        “lo lolos UKM Teater”
        “HAH?”
        “LULUS!!!!!”
        “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” sontak ku peluk Hanun dengan gembiranya. Begitupun Hanun, kami jingkrak tak karuan ditengah-tengah koridor kampus.
        “Selamaaaat Rin” Ucapnya
        Aku mengangguk kesenangan.
       
-
        Berita aku lulus dari teater ternyata sampai ketelinga mas Ayaz dan kawan-kawannya. Saat tiba di sekre PMP, beberapa senior-senior memberi ku selamat, karena kata mereka yang lulus cuman 20 dari 75 orang, persaingan yang sangat ketat ucap mereka.
        Aku duduk manis diruang tamu sekre PMP.
        “ciee anak teater” goda Gilang, yang ku tau ia adalah seketaris dikepengurusan UKM PMP ini, ia duduk didekat ku.
        Aku tersenyum tak hentinya hari ini. “makasih bang”
        “nanti bakalan jarang nongkrong di sekre PMP dong” godanya.
        “ah bang, kan sekre PMP sama sekre teater deketan”
        “iya deketan, tapi berasa jauh” sahut Lyan sembari duduk tak jauh dari tempat ku duduk.
        Aku menoleh. “ko gitu?”
        “kan anak-anak teater suka sibuk” Jawab Gilang.
        Aku hanya tersenyum menanggapi guyonan mereka.
-
        Setelah selesai berurusan dengan mas Ayaz, aku pamit dengan anak-anak PMP untuk kembali ke kampus. Sesaat keluar dari gedung besar itu, muncul sosok lelaki dengan kendaraan Honda Cbnya yang taka sing dimataku, ia adalah Enal dengan style khasnya, ia berhenti tepat didepanku, dibukanya kacamata hitamnya.
        “mau kemana?”
        “kampus, ada kuliah”
        “kuliah pa Zainal?”
        Aku mengangguk.
        “diliburkan”
        “sok tau”
        “ingat Rin, aku paranormal” dipasangnya raut wajah serius.
        Ku raih ponsel yang ku letakkan dikantong celana jeans. Ada satu pesan masuk, ku buka. “aaah bener”
        “tuh kan” ucap Enal segera dengan nada meyakinkannya.
        Aku mengangguk dan tersenyum. “bener-bener paranormal”
        “Enal” ucapnya dengan bangga sambil menepuk dadanya.
        Aku tertawa melihat.
        “jadi tetap mau kekampus?”
        “emmm, iya, mau nyantap di kantin”
        “kebetulan, mau makan juga akunya, ikut aku aja”
        Aku diam.     
        “aku tau tempat dimana bakso yang enak”
        “bukannya bakso mang dadang yang paling enak?”
        “bukan lah, mang dadang cuman jago kandang”
        Aku tertawa. Enal juga.
        “jadi ikut?”
        Akhirnya ku putuskan menerima ajakan Enal. Kami pun pergi menuju suatu tempat yang hanya Enal tau.
-
        Bakso Lara Hati. Aku diam memandangi nama bakso yang dituju Enal. Enal menatapku, ia tersenyum.
        “aneh ya namanya?”
        Aku menoleh. “iya”
        “lara itu nama anaknya, hati itu juga nama anaknya”
        “ko tau?” belum sempat Enal menjawab, aku sudah tersadar “oh iya paranormal”
        Enal tertawa. “masuk yuk, keburu anaconda dalam perut nangis kalo nunggu kamu selesai mandangi Lara Hati”
        Aku tersenyum sembari mengikuti langkah Enal masuk kedalam.
        Warung bakso lara hati ini tak luas, hanya bisa menampung sekitar 15 orang saja, lokasinya pun tak strategis, lumayan tersembunyi. Pelayannya hanya bertiga, semuanya laki-laki.
        “bang, yang mana Lara sama Hati?”
        “heh?” Enal bingung. “mereka kuliah lah, masa jualan”
        “loh? Gak bantu ayahnya?”
        “heh? Yang bilang ayahnya jualan siapa?”
        “eh iyaya, gak ada” ku garuk kepala ku dengan kebingungan, layaknya orang bodoh saat itu.
        Enal tersenyum. “ayahnya cuman buka usaha bakso, yang jual anak buahnya, dikasih nama Lara sama Hati, biar anaknya kuliah diluar negri seneng”
        Aku terkejut. “serius kuliah diluar negri?”
        “gak percaya pasti, tanyain nih”
        “tanyain ke siapa?”
        “ayahnya”
        “kan pemiliknya gak jualan”
        “kan ada no hapenya tuh” Enal nunjuk kertas menu yang dilaminating dan ditempel didinding kayu dengan paku payung, tepat dihadapan kami.
        Aku tertawa kecil. “oh iyaya, gak usah ah bang, anggap aja akunya percaya”
        “percaya aja ya”
        Aku mengangguk.
        Akhirnya pesanan bakso khas lara hati datang, kata Enal baksonya luar biasa nikmat, kalo dikasih nilai, masuk angka 99 katanya.
        “kenapa gak kasih nilai 100 aja sekalian bang?”
        “kalo 100 berarti sempurna, kan sempurna hanya milik Allah SWT”
        Aku mangut-mangut.
        “makanya aku gak mau dapat nilai 100 kalau ujian”
        “loh kenapa?”
        “takut kualat, karena aku sadar, aku hanya manusia yang gak sempurna”
        Aku kelikikkan tertawa.
        Santap siang kami akhirnya berakhir. Aku memilih untuk tidak kembali ke kampus, dan memilih untuk diantarkan Enal pulang langsung kerumah.
-
        “lain kali aku yang traktir ya bang”
        Enal menatapi ku dengan wajah bingung.
        “masa kalau jajan sama abang ditraktir mulu”
        “kalau aku mintanya mahal-mahal gimana?”
        “ah jangan, aku kasih target kalau aku yang traktir”
        Enal tertawa. “ah pelit”
        “perhitungan akunya bang” ucapku sembari tertawa.
        “entar kalau kamunya sudah kerja baru boleh traktir aku”
        “emang abang sudah kerja?”
        Enal mengangguk.
        “heh? Serius?”
        “kan aku paranormal, kerjaan ku meramal orang-orang”
        Aku menghela nafas kesal. “aaah kirain”
        Enal tertawa. “nanti ya traktir aku”
        Aku mengangguk.
        “balik dulu ya, assalammu’alaikum”
        “wa’alaikumsalam”
        Enal pun berlalu pergi dari pandanganku
-
          Ku pandangi langit kamar, malam ini malam minggu, kalian pasti tau lah malam minggu ini malam apa bagi kaula muda, ya malamnya mereka, tapi tidak dengan ku, aku tidak terbiasa dengan dunia malam. Perlahan mata ku beralih melihat teras luar kamar, segera ku bangkit di kasur, melangkah menuju pintu teras kamar, ku buka, ku dekati pagar teras, malam itu rasanya sejuk sekali.
        Ku lirik dihalaman rumah, mas Ayaz sedang sibuk melap mobilnya, pakaiannya nampak terlihat sangat rapi. 
        “mas” Ayaz menoleh melihat keatas, tempat dimanaku berdiri. “mau kemana?”
        “mau jalan sama Vela” Vela adalah gebetan barunya, yang ku tau dia adalah anggota UKM Musical angkatannya juga. “mau ikutan?”
        “hahaha, ogah”
        “kamu jangan kemana-mana, dirumah aja, mas gak lama, cuman mau jajan”
        “beliin ya”
        “hmm, kalo ingat”
        “isssh” gerutu ku.
        Setelah pamit, mas Ayaz pun pergi ke rumah Vella. Menyisakan aku sendirian dirumah. Iya, bunda dan Ayah sedang tak ada dirumah, mereka sedang ada tugas keluar kota selama dua pekan. Rumah sepi rasanya.
        Entah sudah berapa lama aku berdiri diteras luar ini, tak sadar lagi. Ku putuskan tuk masuk, semakin lama aku berada diluar kemungkinan akan masuk angin pikir ku. Sesaat ku hendak memutar langkah masuk kedalam, suara sepeda motor yang khas segera masuk kedalam halaman rumah. Kembali ku tengok siapa.
        Laki-laki itu berhenti tepat dihalaman, segera ia lepaskan helmnya. Aku sangat mengenali siapa itu.
        “bang”
        Ia menoleh kesana kemari, mencari sumber suara.
        “diatas bang”
          Ia menatap keatas. “eh kamu, Ayaz ada?”
        “gak ada, katanya mauu jalan sama Vella”
        “astagaaa, lupa lagi kan” Ucapnya dengan nada kecewa dan setengah kesal.
        “kenapa bang?”
        “mas mu janji dengan ku mau main pees malam ini, anak-anak juga bakalan datang”
        “hah” aku kaget “bang masuk gih”
        “pintunya tertutup Rin”
        Aku tertawa. “iya bang, tunggu ya aku buka”
        Ia mengangguk. Segera aku keluar kamar, berlari dengan cepat menuju ruang tamu, membukakan pintu untuk lelaki bertubuh 182cm itu.
        Ku buka pintu, ia sudah berdiri menunggu. Aku tersenyum menatapnya. Malam ini ia tak mengenakan kaos berwarna hitam, ia mengenakan kaos berwarna putih dengan gambar huruf A besar didada, ditambah kemeja flannel yang tak dikancingnya, celanannya hitam pensil, tak ada robekan, tas kecil yang melingkar dibahunya dan tak  lupa kacamata hitamnya.
        “cepet juga ya buka pintu”
        Aku tertawa kecil. “masuk bang”
        “allhamdulilah ditawarin masuk”
        Aku tertawa lagi. Kami memilih duduk santai dihalaman belakang, tepatnya digajebo kecil. Tempat favorit kawan-kawan kalau kumpul.
        “yang nyusul datang banyak bang?” tanya ku sembari menuangkan air soda kecangkir yang ku sediakan untuk Enal.
        Enal mengangguk. “aku, Gilang, Lyan, pacar Lyan, Engkoh, Ambe, Nouval sama Reza”
        Aku hanya mangut-mangut dengan beberapa nama yang Enal sebutkan, karena aku sepertinya asing.
        “perlu aku telponin mas Ayaz bang?”
        “gak usah, tadi sudah aku telpon dia, katanya tunggu saja, sekalian dia minta jagain kamu dirumah”
        Aku tersenyum.
        “memangnya aku ini sercurity ya dimata mas kamu”
        Aku tertawa. “ada bakat kali bang”
        “aku kan paranormal bukan parabisa” (*sebutan yang dibuat Enal untuk orang serba bisa)
        “eh bang, emang abang Lyan punya pacar?”
        Enal mengangguk. “iya, angakatan kamu”
        “heh? Siapa?”
        “kamu gak tau?”
        Aku menggeleng. “itu Hani”
        “oooh”
        “kamu tau, Hani itu keponakan ku”
        Aku kaget. “hah?”
        “iya, keponakan jauh tapi, cuman yaaa masih hitungan keluarga lah”
        “ko bisa”
        “Hani yang minta kenalin ke Lyan, aku cuman mempertemukan mereka, sisanya ku bilang Tuhan lah yang ngatur, eh malah pacaran ternyata” ia menggeleng sambil tertawa, aku pun tertawa.
        “abang juga gak minta comblangin gitu sama anak-anak yang lain?” entah kenapa aku bertanya macam ini kepadanya malam ini.
        Enal tersenyum seadanya. “cemen kalau aku minta comblangin, aku harus usaha sendiri kalau aku mau deketin perempuan”
        Aku diam, pelan mengangguk. Ku lirik wajah Enal malam itu, ia menatap kearah lain, entah kenapa auranya malam ini berbeda. Arin.. sadaaaaaar, segera ku lempar kelain pandangan ku.
        “assalammu’alaikum”
        Aku dan Enal segera menoleh kearah pintu. Sosok Lyan dan Gilang datang dengan membawa dua kantong plastik yang berisi berbagai makanan ringan. Segera mereka menghampiri kami, duduk didekat kami.
        “waaah, berduaan” goda Gilang.
        “jadi sercurity Arin aku malam ini”
        “digajih gak?”
        “iya, gajihnya ucapan thanks      
        Gilang dan Lyan tertawa.
        “loh bang” aku menatap Lyan “gak sama Hani?”
        “gak ah, ada om nya disini”
        “om-om ganteng” sahut Enal sembari membuka semua isi kantong plastik yang Gilang dan Lyan bawa.
        Aku tertawa. “kan padahal biar ada temennya Arin disini”
        “kapan-kapan ya nanti Hani abang ajak” ucap Lyan sembari memainkan kedua alisnya turun naik.
        “izin dulu sama om nya wooy” Enal melempar kulit kacang kearah Lyan.
        “ampun om” ucap Lyan.
        Aku kembali tertawa melihat tingkah mereka malam itu. Malam semakin larut, perkumpulan anak laki-laki itu tak henti-hentinya bercanda gurau di malam minggu. Jam menunjukan angkat 12, aku melangkah masuk, rasa kantuk tak tertahankan lagi.
        “rin”
        Aku menoleh, melihat siapa yang memanggil. Enal baru keluar dari toilet.
        “eh bang”
        “udah mau tidur ya?”
        “iya, udah ngantuk”
        Perlahan Enal mendekati ku. Ia tersenyum manis, tangan kanannya merapikan helaian rambut yang berantakan diwajah ku, mata kantukku berubah, aku terkejut melihat reaksi Enal.
        “anak kecil memang harus sudah tidur kalau jam begini” ia mengucapkan tangan kanannya dikepala ku, tersenyum manisnya menatap wajah ku “jangan lupa berdoa”
        Aku mengangguk dengan berat. Enal pun pergi kembali ke halaman belakang, akupun begitu, kembali melanjutkan langkah kaki ku menuju kamar.
        Ku hempaskan tubuhku diatas kasur, mata ku menatap langit malam kamar. Entah kenapa rasa kantuk yang begitu dahsyat ku rasa tadi, hilang dengan seketikanya, mengingat apa yang dilakukan Enal terhadap ku tadi.
        “aaaaaaaaaaaa” ku tutupi wajah ku dengan bantal.
***
        “loh, arin dikemanain?” rengkek ku siang itu dalam pembiacaran via telpon.
          “naik taxi, ah jangan .. bentar, tunggu aja disitu, nanti dijemput, 15 menit lagi, oke”
        “hmmm” sahut ku dengan nada kesal.
        Pembicaraan via telpon berakhir. Seperti pintanya mas Ayaz aku disuruh menunggu didepan kampus, ia berjanji akan menjemput, tapi 15 menit lagi. Tak lama kemudian.
        “Hei!”
        Aku menoleh, ya si Enal lagi.
        “ayo pulang”
        “nunggu mas Ayaz”
        Enal tersenyum “abang kau yang suruh aku tuk jemput, ayo”
        Aku melongo.
        “ayo”
        Mas Ayaaz! Segera ku bangkit dari tempat ku berdiri sejak tadi, menuju kendaraan Enal, seperti biasa duduk dibelakang bersamanya. Entah kenapa rasanya akhir-akhir ini aku nampak sering duduk diatas kendaraan Enal, rutinitas kami berjumpa seakaan lebih banyak. Entah lah.
        Kami segera meninggalkan kampus. Menyusuri jalana raya. Dipertengahan jalan, tiba-tiba Enal berhenti dipinggir jalan, mengeluarkan ponselnya dengan cepat, lalu menyimpannya lagi.
        “Arin”
        “hmm?”
        “kita tunda dulu pulangnya ya? Ibu aku panggil”
        “heh?”
        “bentar-bentar, genting katanya”
        “eeeh .. i.. iya” kendaraan kembali melaju.
        Dengan kecepatan penuh kendaraan Enal melaju dijalan raya. Setelah menjejal jalanan raya, akhirnya kami tiba di perumahan nan asri, masuk kedalam halaman rumah yang luas dan hijau. Bangunan rumah khas Belanda itu nampak sejuk, segera aku turun dari kendaraan, begitupun dengan Enal.
        “Ibuuu” Enal melangkah masuk kedalam rumah, aku mengikutinya.
        “Haaaaaaay” Sahut seseorang didalam rumah.
        Kami berhenti tepat di dapur. Seorang sosok ibu rumah tangga menyambut hangat kedatangan kami.
        “yang mana bu?”
        “itu susah sekali” ia menunjuk selang gas yang terlepas. “ibu gak bisa benerin”
        Enal tanpa pikir panjang dan omong lebar, segera melepaskan tasnya, diletakkannya dilantai, dan langsung menyerbu selang beserta perangkatnya, tak perlu waktu lama, selang itu kembali terpasang, komor gas pun kembali memancarkan api seperti sedia kala lagi.
        “Allhamdulillah” ucap Ibu itu dengan wajah legah. “untung ada kamu, bisa lah sudah ibu masak”
        Enal tersenyum dengan bangganya. Ia melirik kearah ku, tersadar akan kedatanganku, Ibu menoleh, ia tersontak kaget.
        “ya ampun, ada bidadari, sejak kapan?” ia melirik Enal dengan wajah seolah-olah kebingungan.
        “sejak tadi lah bu, aku lupa ngenalin, hehe” Enal segera mendekati tubuh ku. “dia Arini bu, adeknya Ayaz”
        “Ayaz?” Ibu kaget. “serius?” aku mengangguk mencoba meyakinkan keraguan. “astagaa, pantes mirip banget” ia tersenyumm lebar nan hangat. “abangnya tampan, adeknya cantik banget”
        Aku tersenyum malu mendengar pujian-pujian perempuan yang ku taksir umurnya adalah empat puluh satu.
        “makasih bu”
        “ajak Arin duduk diruang tamu, biar ibu siapin minuman sama makanan”
        “aaah, bu, gak usah, gak usah repot-repot” tolak ku dengan sopannya.
        “repot-repot aja bu, gak apa-apa, kita ikhlas ko bu” Timpal Enal membuat ku melongo.
        Ibu tertawa. “hahaha.. iya duduk aja lahh dulu kalian pokoknya, ibu beres-beres dulu”
        “siap komandan” Ucap Enal dengan lantang, lalu menarik lengan ku untuk pergi dari dapur, menuju ruang tamu rumahnya.
        Aku duduk disofa dengan Enal.
        “jadi ngerepotin deh”
        “yang kayak gitu gak repot ko, yang repot itu kayak tadi, gak bisa benerin selang gas”
        Aku ketawa kecil. “dirumah ibu sendirian aja?”
        Enal mengangguk. “anaknya pada ngelayur kemana-mana, suaminya juga”
        Ah ngaco pikirku.
        Mata ku menatap ke sebuah foto berukuran 15R, yang dibingkai dengan frame cantik, terpajang didinding rumah ruang tamu. Didalam foto itu terlihat ayah dan ibu serta Enal dan laki-laki yang ku duga adalah kakanya, mereka mengenakan pakaian seragam, sasirangan.
        “dua bersaudara?”
        Enal mengangguk. “aku paling tampan, dan kaka ku paling gagah, aku tak mau disamakan. Hehe.. keren kan baju kami?” Aku mengangguk. “itu ku dapatkan sewaktu aku dan kaka kau PPL di Kalimantan Selatan. Bareng kaka kau”
        “oh yang dua bulan itu ya?”
        Enal mengangguk.
        “Hidangan datang” Ucap Ibu sembari membawa nampan berisi minuman dingin dan beberapa cemilan yang menggota selera makan.
        Dihidangkannya diatas meja dihadapan kami berdua. Aku kaget, aroma dan visualnya luar biasa, cantik dan menggoda.
        “ayo disantap Arini”
        Aku mengangguk senang, segera ku santap beberapa cemilan yang tersaji.
        “tadinya kalian mau kemana?”
        “mau nganter Arini ke penitipan Bu”
        Aku kaget, Ibu juga, kami menatapnya dengan tatapan bingung.
        “penitipan?”
        “dia anak hilang bu, kakanya tak kunjung datang untuk menjemput, makanya mau aku antar ke penitipan”
        “ngaco” gerutu Ibu sebal melihat wajah datar Enal saat menjawab. Ia kembali menatap ku. “jangan dengerin dia ya Rin, orangnya memang ngaco gitu”
        Aku mengangguk. “iya bu, suka gitu orangnya”
        “abang kau belum datang-datang ya”
        “paling mampir ke tempat ande bu”
        “oh iya” ia mengangguk.
        Aku diam.
        “Ande itu pacar abangnya Enal, nama abangnya Enal itu Lee Hae Joon” aku kaget “kati panggil dia Joon, kau liatkan foto itu” ibu menunjuk foto yang ku pandangi tadi “ayahnya Enal, korea banget kan”       
        “Banget bu”
        “itu lah kenapa wajah mereka berdua ke asiaan banget, ibu hebat kan memilih suami” dengan bangganya ia melempar senyuman ke arah kami berdua.
        “iya bu, hebat banget” Ucap ku kagum sambil mengacungkan dua jempol.
        “kamu kalau nikah sama Enal, ibu yakin anaknya top cer banget”
        “ibu” Ucap Enal pelan.
        Ibu tersenyum seakan paham. “kan ibu cuman berrandai-andai ya Rin ya” aku menggangguk sembari tersenyum. “habisnya Arini cantik sekali, kamu tu Nal, cepat-cepat deh cari pacar, jangan kelamaan jomblo” aku menahan tawa kala itu, Enal hanya diam. “kalian ngobrol aja dulu ya, ibu mau ke dapur dulu, nyelesaikan sisa kerjaan”
        “iya bu”
        Ibu pun berlalu pergi. “dihabisin ya dihabisin” tambahnya.
        “udah berapa lama jomblo bang?”
        Enal kaget. “sebelum masehi”
        Aku tertawa, Enal tertawa juga.
        “ih pantes diomongin ibu gituan, makanya cari pacar bang, biar tambah semangat kuliahnya”
        “ah tanpa pacar juga udah semangat kuliah, apalagi ada spesies kayak kamu gini”
        Aku diam sesaat, segera ku coba sesantai mungkin menanggapi perkataan Enal saat itu.
        “aku mah emang bikin orang-orang semangat ya” sembari tertawa kecil.
        Enal menaikkan bahunya sembari mencibir kecil lalu meminum secangkir teh es yang disajikan untuk kami.
-
        Aku berdiri didepan rumah, Enal sibuk menjepit helm yang tadi ku kenakan.
        “bang”
        “hemm?”
        “besok sibuk?”
        Enal langsung menoleh dengan tatapan bingung. “Wae?” (*wae=kenapa?)
        “ah gak jadi”
        “loh loh loh .. selesaikan dulu”
        “ah gak jadi, abang pulang deh”
        “loh kok jadi ngusir?”
        “eh iyaya, maaf .. makasih bang sudah menghantarkan aku pulang” ucap ku dengan nada manis ala kekanak-kanakan.
        Enal tertawa kecil. “besok aku mau ke pameran buku di kampus tetangga, ikut?”
        “naaah, aku mau ngajak abang kesitu, soalnya Hanun gak bisa, mas Ayaz pasti sama pacarnya”
        “iyaya, besok ya, pulang dulu atau langsung dari kampus?”
        “langsung aja deh ya”
        “oke”
        “oke”
-
        Sudah dua jam aku berbaring diatas kasur kamar, menatapi langit-langit kamar yang ku desain seolah-olah itu adalah langit dengan motif awan-awan karya mas Ayaz, digambar begituan biar seger aja dipandang dari pada polos. Kalau kalian liat kamar mas Ayaz akan berbeda lagi. langit-langit kamarnya di desain serupa langit malam, banyak bintang-bintang abstrak buatannya.
        Pikiran ku malam ini entah kemana-mana melayang, aku bingung. Entah kenapa wajah Enal kadang datang ditengah-tengah lamunan ku, dan berulang-ulang pula aku mencoba menghapus bayangan itu dengan berbicara sendiri.
        Arini bangun arini ..

*
        “abang jemput jam berapa?”
        “gak usah, Arini sudah ada janji”
        “sama siapa?” mas Ayaz menatap ku dengan tatapan bingung.
        Langkah kaki kami tiba-tiba berhenti bersamaan, tepat ditengah-tengah koridor kampus. Kami saling pandang, ini pandangan paling absurt dari mas Ayaz ketika menatap ku.
        “cowok?”
        “bang Enal”
        “heh? Ngapain? Kemana?”
        “ke pameran buku di kampus sebelah”
        “ohh” kami kembali melangkah bersama “kirain mau ngedate”
        “jangan jauh mikirnya mas” gerutu ku
        Mas Ayaz tertawa. “gak apa-apa lagi, Enal orangnya baik”     
        “apaan sih, biasa aja kali”
        Mas Ayaz sontak mengelus-elus kepala ku, rasanya hangat dan menyenangkan setiap kali mas Ayaz mengelus kepala ku, itu hal yang ku suka dari mas Ayaz.
        Kami kembali melangkah. Diujung koridor sana, terlihat beberapa anak laki-laki seangkatan mas Ayaz sedang berkumpul.
        “Ayaz” teriak mereka seolah memberi isarat keberadaan mereka ke mas Ayaz.
        Ayaz mengangguk. Kami segera menghampiri mereka semua. Disana ada Vyan, Lyan, Reza dan banyak lah pokoknya, aku tak hafal satu-satu. Tapi, tak ada Enal disitu.
        “Hay Arini” sapa seseorang dengan ganjennya.
        Aku cuman memberi isarat berupa anggukan kepala.
        “udah selesai kuliahnya?”
        “belum bang, masih ada beberapa semester lagi, skrpsi aja belum” sahut ku datar.
        Sontak mereka tertawa mendengar jawaban ku kala itu. Aku ketawa kecil.
        nyaho loo Net” Ucap Gilang geli.
        Neta namanya. Ia nyengir merasa kalah. “maksud abang, kamu sudah selesai kuliah hari ini Arini”
        “oh iya bang, udah, udah beres untuk hari ini”
        “Enal mana?” mas Ayaz celingak-celinguk.
        “dia lagi ngeladenin Ayun”
        Ayaz menatap Lyan dengan tatapan tak yakin. “Ayun? Ngapain?”
        “Kritis lah”
        “gawat berarti?”
        Mereka serentak mengangguk.
        Aku bingung. Siapa Ayun? Ada apa? Eh kenapa aku harus kepo, tak masuk akal. Santai aja Arini, relex.
        “kayanya kamu batal ke pameran deh Rin” Ayaz menatap ku dengan tatapan setengah khawatir.
        “heh?” aku mencoba mencerna sebentar “oh iya, berangkat sendiri juga bisa”
        “abang anterin?”
        “gak ah, sendiri juga bisa”
        “sama abang aja Rin” Tawar Neta
        “jangan mau Rin, mending sama abang” Sahut yang lain bergantian. Aku cukup terhibur dengan aksi menggelikan mereka yang seolah memperebutkan posisi untuk menemaniku.
        “makasih abang-abang, Arini bisa sendiri ko”
        “yaaaaaaaah” sahut mereka serentak.
        Aku tertawa.
-
        Akhirnya aku berangkat sendirian ke Universitas Muhamadiah Malang (UMM), tempat dimana pameran buku tahunan diadakan, hari kedua pameran buku kali ini cukup ramai, antusias mahasiswa terhadap buku-buku karya anak bangsa sangat luar biasa. Aku termasuk dari mahasiswa-mahasiswa yang atunsias itu.
        Aku memasuki sebuah stand buku sastra. Aku melirik sebuah buku “Aku-Chairil Anwar”, ini buku yang belum pernah aku baca, dan selama 14 tahun aku tertarik untuk membaca, namun belum kesampaian. Perlahan ku raih buku itu. Kalian yang pada masanya yaitu 2002 pernah menonton AADC, pasti kalian akan tau buku “aku” yang ku maksud ini buku apa. Buku yang sangat ngehits.
        “belum baca Rin?”
        Aku menoleh, Enal sudah berdiri disamping kanan ku, tampilannya kali ini berbeda, rambut gondrongnya dikuncir, kacamatanya digantung di kantong kemejanya.
        Aku menggeleng.
        “ko pergi duluan? Aku nyariin”
        “katanya lagi sibuk sama siapa tadi lupa namanya” lebih jelasnya aku pura-pura lupa.
        “oh Ayun” ucapnya datar. “gak setia”
        “heh?”
        “kamu, gak setia, ninggalin aku, nyuri start duluan” gerutunya.
        Aku ketawa. “maaf-maaf, tapi kan udah ketemu aku bang”
        Enal mengangguk. “udah baca buku itu?”
        “belum, 14 tahun penasaran sama buku ini”
        Enal langsung melangkah menuju kasir, entah apa yang ia lakukan. Aku bingung, tak lama ia kembali lagi mendekati.
        “sudah jadi hak milik kamu”
        “heh?”
        “buku itu”
        Aku melongo.
        “hadiah”
        Aku tersenyum. “makasih, harusnya aku pilih yang banyak tadi bukunya”
        “mau ngerampok?”
        “hahaha enggak-enggak”
        Enal ketawa, aku ketawa, kami ketawa.
        Entah sudah berapa jam kami memutari stand-stand pameran buku hari itu, dari siang hingga sore, hampir lupa waktu, kami cukup terlena dengan pameran UMM kali ini, sangat suka.
        Kami cukup banyak membawa pulang buku-buku yang siap kami jamah nanti dirumah. Enal membawa pulang 5 buku dengan harga miring, sedangkan aku cuman 4 buku, satu buku berian Enal, dan 3 buku aku beli sendiri.
        Cukup hari ini dengan pameran buku, Enal mengajakku icip-icip sebelum mengantarkan ku pulang kerumah. Aku mengiyakan, karena lelah memutari stand-stand tadi membuat tenaga ku cukup terkuras.
        Enal mengajakku icip-icip di warung pinggir sungai. Aku lupa apa nama sungainya, hanya saja view sore itu membuat warung pinggir jalan yang biasa ini berubah saja sangat mellow dan romantis. Kami duduk lesehan dekat bibir sungai.
        “pernah kesini?”
        Aku menggeleng. “belum”
        Enal menjelaskan bahwa warung ini buka dari jam setengah 5 sore hingga 12 malam, tergantung stok perang masih banyak atau enggak, biasanya kata Enal jam 10 aja bisa sudah habis. Disini makanannya sederhana, cuman nasi goreng dan mie goreng handmade, bukan instan, dua menu itu aja yang dijual, cuman rasanya WAW nikmat banget, aku tidak berbohong, ini sungguh. Minuman yang disajikan cuman kopi, teh dan air putih, bisa es atau hangat. Harga juga gak bikin kantong jebol, makanya banyak mahasiswa kos-kosan yang suka nangkring disini, hahaha.. Enal juga menjelaskan bahwa si bapa yang jualan disini sudah buka usaha sejak 20 tahun lamanya, makanya bapanya sudah keliatan tua, ya kisaran 50-60 taun umurnya, tapi masih gesit buat mengaduk-aduk nasi dan mie goreng diwajan besar.
        Aku memesan mie goreng, sedangkan Enal nasi goreng, dan minumnya kami sama-sama memesan teh es.
        “ko bisa kepikiran nyusul Arini bang?”
        “aku kan sudah janji mau ke pameran buku bareng kau, aku harus menepatinya”
        “nyariin berarti tadi?”
        “enggak”
        “ko bisa?”
        “abang kau ngebbm aku, hehe”
        Aku mencibir, sepertinya reaksi ku seolah-olah aku mengharapkan untuk dicari-cari keberadaan ya, ah lupakan.
        “kenapa Ayun gak diajak?”
        “kau kenal??”
        Aku menggeleng.
        “males ajak setan”
        “hah?”
        “kan kata di AL-Qur’an, kalo dua orang sedang berduaan, orang ketiga adalah setan”
        Sumpah, aku ngakak sejadi-jadinya. Enal ikutan tertawa.
        “abang ih” gerutu ku sembari menahan tawa ku yang terlepas tak sengaja. “ngomongin orang”
        “lah kamu kan duluan” belanya tak mau kalah.
        “iya-iya aku”
        Pesanan kami tak lama datang. Segera kami santap.
        Ingin sekali rasanya aku menanyakan tentang Ayun saat itu, hanya saja, aku takut terkesan sangat kepo terhadap hubungan pribadi Enal.
        “kau”
        “heh?”
        “ada yang ingin kau tanyakan?”
        “heh?”
        Enal menatap ku, mata kami bertemu.
        “apa?”
        “oh gak ada” ia kembali melanjutkan menyantap makanannya.
        Aku diam, sembari menghatur detak jantung ku yang tiba-tiba seolah terpacu kencang.
        “kau tak mau menyakan siapa Ayun?”
        “eh bang”
        “Ayun itu mantan ku”
        Aku diam sesaat. “cieee punya mantan”
        Enal tersenyum kecil, seolah mengerti apa maksud dari kata “cie” yang ku ucap.
        “dia menyebalkan”
        “kenapa?”
        “pengacau”
        “pengacau?”
        “pengacau rencana ku mau ke kamu”
        “heh?”
        “tadi”
        Aku mengangguk. “tapi kan kita sekarang sudah kepameran bang”
        “iya, hanya saja aku merasa tidak enak, berangkat tak bersama-sama tadi”
        Aku tersenyum
        “kau jangan seperti dia ya”
        “heh?”
        Entah sudah berapa kali aku mengucap kata “heh?” yang menggambarkan betapa bodoh dan bingungnya aku menanggapi perbicaraan kami kali ini.
        “jangan datang dan pergi sesuka hati” enal mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum, entah senyumnya malam itu bercampur gula teh es yang kami minum atau apalah, aku memandangnya tak kuasa, sangat menyejukkan.
        Aku mengangguk pelan. “ya”
        Aaah… suasana pinggir sungai kali ini sangat sejuk.

(bersambung)